Ajaran para penyebar Islam awal ke Nusantara telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi masyarakat setempat. Sehingga Isla...
Ajaran para penyebar Islam awal ke Nusantara telah menunjukkan akomodasi yang kuat terhadap tradisi masyarakat setempat. Sehingga Islam datang bukan sebagai ancaman, melainkan sahabat yang memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan. Richard Winstedt (1950) menunjukkan bahwa karakter Islam Indonesia yang berdialog dengan tradisi masyarakat sesungguhnya dibawa oleh para mubalig India dalam penyebaran Islam awal di Indonesia yang bersikap akomodatif terhadap tradisi masyarakat atau kultur masyarakat setempat ketimbang mubalig Arab yang puritan untuk memberantas praktik-praktik lokal masyarakat. Karakter Islam yang dibawa orang-orang India inilah yang diteruskan Walisongo dalam dakwahnya di Jawa. Perpaduan Islam-Jawa ini memberikan corak yang apresiatif terhadap tradisi masyarakat.[1] Maka tak heran, jika Islam Nusantara memiliki karakter yang kuat hidup berdampingan dengan budaya masyarakat setempat.
Proses dialog Islam dengan tradisi masyarakat diwujudkan dalam mekanisme proses kultural dalam menghadapi negosiasi lokal. Ia tidak diterima apa adanya ketika ditawar oleh khazanah lokal. Di sinilah, Islam dan tradisi masyarakat ditempatkan dalam posisinya yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat, yang berakibat pada sikap saling melemahkan. Perpaduan antara Islam dengan tradisi masyarakat ini adalah sebuah kekayaan tafsir lokal agar Islam tidak tampil hampa terhadap realitas yang sesungguhnya. Islam tidak harus dipersepsikan sebagai Islam yang ada di Arab, tetapi Islam mesti berdialog dengan tradisi masyarakat setempat.
Tak pelak lagi, Islam sebagai agama yang menyebar ke seluruh penjuru dunia tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima tradisi masyarakat, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Karena itu, kedatangan Islam merupakan pencerahan bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, karena Islam sangat mendukung intelektualisme yang tidak terlihat pada masa Hindu-Budha. Bahkan, perpindahan masyarakat Indonesia dari sistem keagamaan dan budaya Hindu-Budha kepada Islam disamakan dengan perubahan pandangan Dunia Barat yang semula dipengaruhi mitologi Yunani kepada dunia nalar dan pencerahan. Rekonsiliasi Islam dengan tradisi masyarakat diyakini sebagai proses penerimaan yang dilakukan secara alamiah dan damai, tanpa penaklukan. Hal ini berbeda yang terjadi di Timur Tengah, di mana Islam disebarkan melalui proses kekuasaan politik.
Dialog Islam dengan tradisi ini dilakukan dalam semangat negosiasi. Negosisasi merupakan proses menafsirkan sesuatu yang hadir dan menafsirkan dirinya untuk mencari sesuatu yang baru yang dikenal dalam kebudayaan sebagai sesuatu yang hidup. Dalam konteks kultural, masyarakat memiliki kemampuan untuk bernegoisasi dengan caranya masing-masing. Dan sejatinya, pergulatan antara yang didatangi dan pendatang dalam bernegosiasi bukan didasarkan pada semangat saling mengubah, karena kalau sudah saling mengubah bukan lagi negosiasi, melainkan hegemoni bahkan represi[2]. Ini artinya, negosiasi merupakan bagian dari transformasi kultural dalam setiap gerak kebudayaan. Proses yang terjadi adalah proses kreatif dalam spirit kebudayaan, sehingga baik pendatang maupun yang didatangi berada dalam struktur dan derajat yang sama.
Dalam konteks lain, negosiasi adalah upaya untuk menghilangkan atau menurunkan nilai daya kekuatan tradisi pendatang. Negosiasi berfungsi untuk mengharmonikan yang asing dalam kearifan lokal. Melalui negosiasi, hal-hal baru dari luar wilayah tradisi tidak diterima begitu saja, namun dimodifikasi dari keasliannya, disesuaikan dengan daya terima tradisi. Keberadaan negosiasi tradisi merupakan hal yang alamiah. Tidak ada satu pun tradisi yang tidak memiliki negosiasi, yaitu kemampuan untuk mengajukan apa yang menjadi milik lokal (sebagai asal) berdampingan atau memaknai apa yang dari luar menjadi sesuatu yang baru (sebagai jadian kreatif). Negosiasi, dalam hal ini, bisa berarti sebagai daya arus balik dalam makna yang lebih lembut. Dalam proses negosiasi ada upaya perbandingan dengan miliknya semula, ada proses pertimbangan pragmatis juga ideologis, dan niatan untuk menggunakannya secara baru. Pendeknya, negosiasi mengisyaratkan interpretasi kreatif dari pembeli atau pengguna. Negosiasi membuat serbuan dari luar akan dibaca lain, akan dimaknai secara berbeda.
Negosiasi juga berhubungan dengan upaya untuk menghilangkan daya kekuatan tradisi pendatang. Definisi kedua ini berkait erat dengan asumsi bahwa setiap lokal didiami oleh kuasa politik atau kuasa kebenaran tertentu. Kedatangan tradisi pendatang sedikit banyak akan mengusik kuasa lokal itu. Oleh karena itu, secara alamiah pula yang lokal akan menggunakan tradisi pendatang untuk mengartikulasikan kepentingannya, atau menggunakannya sebagai bergaining baru memperkuat posisinya di depan kekuatan-kekuatan dominatif dan hegemonik. Pada saat inilah cara-cara pemaknaan baru, yang tidak sama dengan model pemaknaan di daerah asalnya, berlangsung.[3]
Negosiasi antara nilai agama dan budaya terjadi karena kedua nilai itu terdapat potensi yang relevan antara satu dengan lainnya. Potensi yang releven inilah yang menjaga kelangsungan hidup antara kedua variabel itu. Sebaliknya, apabila antara kedua variabel itu tidak memiliki potensi yang relevan, maka bentuk-bentuk antagonisme dalam masyarakat dengan segala implikasinya akan bermunculan.[4] Tentu saja dengan asumsi bahwa setiap tradisi dalam dirinya telah memiliki seruntut nilai tentang apa yang cocok bagi dirinya dan apa yang tidak cocok; atau apa yang diperlukan bagi perkembangan dan apa yang menghambat pertumbuhannya. Di sinilah letak makna penggunaan istilah resistensi. Resistensi digunakan untuk menakar apa yang terjadi ketika dua tradisi yang berbeda melakukan proses saling tafsir, saling menyesuaikansampai akhirnya menghasilkan kesepakatan dalam satu pola komunikasi yang digunakan bersama.[5]
Dalam konteks ini, Geertz telah menunjukkan bahwa penyandaran yang lebih besar kepada ajaran mazhab dan adat tidak lah saling bertentangan sebagaimana tampaknya. Hal ini dibuktikan oleh upaya para kyai mencari tafsiran hukum yang memungkinkan mereka dan pengikut mereka mempraktekkan adat yang biasa mereka praktekkan atas dasar tradisi.[6] Apa yang telah dikemukakan Geertz membuktikan bahwa upaya yang dilakukan kyai-kyai dalam bernegosiasi dengan tradisi tidak merasa benar dan berkuasa sebagai paham baru dan pendatang, melainkann berdialog dalam prinsip menerima dan memberi. Sehingga yang terjadi adalah kesepahaman untuk hidup bersama dalam keberbedaan yang nyata untuk melahirkan sesuatu yang dapat dipertemukan.
Dalam sejarah, proses negosiasi Islam dalam berdialog dengan tradisi masyarakat terjadi dalam skema; mempengaruhi dan dipengaruhi. Yakni, Islam mempengaruhi tradisi masyarakat dan sebaliknya Islam dipengaruhi oleh tradisi masyarakat yang dibingkai dalam semangat rekonsiliasi. Proses timbal balik ini membawa nuansa yang harmonis dalam corak keislamanan Nusantara. Banyak bukti yang bisa ditunjukkan betapa Islam mampu bernegosiasi dengan tradisi masyarakat secara kreatif, tanpa penundukkan.
Pertama, Islam mempengaruhi tradisi masyarakat atau kemampuan tradisi untuk menurunkan harga suatu hal agar ia dapat menjadi bagian dari dirinya. Dalam proses ini yang terjadi adalah nilai-nilai Islam masuk menjiwai tradisi masyarakat, baik dalam bentuk ritual, kesenian maupun norma-norma. Dengan kata lain, Islam mengisi tata cara keagamaan masyarakat lokal. Hasil dari proses negosiasi yang seperti ini adalah lahirnya tradisi Islam lokal yang dipraktikkan di berbagai daerah.
Dalam bentuk norma-norma misalnya di Minangkabau memiliki cerita mengenai negosiasi tradisi terhadap Islam. Ada adagium ”adat basandi Syarak, Syarak basandi kitabullah” (adat berdasar pada agama, agama berdasar pada kitabullah) dan ”Syarak mangato, adat mamakai” (agama merancang, adat menggunakan). Dalam adagium ini jelas terlihat adat harus berdiri dan berkembang di atas dasar hukum agama, yakni al-Qur’an dan Hadits. Artinya segala sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam harus dibuang dari kehidupan adat atau budaya lokal masyarakat Minangkabau. Dalam penegertian ini, terlihat ada monopoli tafsir agama terhadap kehidupan adat Minangkabau. Bahkan dapat dikatakan, bukan hanya sekedar monopoli, tetapi juga sekaligus mendominasi semua pengertian dan pemahaman adat itu sendiri.[7]
Adagium ini konon hasil rekonsiliasi pasca-Perang Padri, abad ke-19. Perang Padri adalah pertarungan antara kaum Adat dan kaum Islam Puritan. Ketegasan paham Wahabi yang diimani oleh Haji Miskin, Haji Sumaniak, dan Haji Piobang membuat ketersinggungan kaum Adat. Terlebih ketika Haji Miskin membakar Balai Adat masyarakat Pandai Sikek. Pada saat rekonsiliasi, mereka bersepakat untuk saling tawar-menawar (Islam tak harus menggantikan semua adat, dan adat tidak harus menolak semua ajaran Islam). Hasilnya adalah kesepakatan untuk membagi wilayah kebenaran dalam adagium ”Syarak mamato, adat mamakai” itu.[8] Proses negosiasi ini merupakan mekanisme alamiah yang terjadi ketika Islam berdialog dengan tradisi masyarakat.
Edy Utama, Ketua Umum Dewan Kesenian Sumatera Barat memberikan penjelasan kritis bagaimana perpaduan antara adat dan agama di Minangkabau yang masih belum tuntas. Bahkan, ia menunjukkan dengan baik tentang bagaimana kelembagaan adat dan agama mejalankan fungsinya secara harmonis dan saling melengkapi. Ketika agama Islam diterima oleh masyarakat Minagkabau, tidaklah berarti bentuk-bentuk tradisi dan nilai-nilai adat yang telah dianut sebelumnya ditinggalkan secara total. Kenyataan menunjukkan, proses akulturasi telah berlangsung antara adat dan Islam, yang diungkapkan dalam berbagai simbol dan konsep sosial yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau.[9]
Bentuk akulturasi konkret yang dapat kita amati adalah apa yang terjadi dalam sistem pemerintahan tradisional Minagkabau, yakni nagari. Di dalam sistem pemerintahan nagari, adat dan Islam, atau kaum adat (penghulu) dan ulama masing-masing memiliki posisi dan fungsi yang jelas. Selain balai adat, setiap nagari juga harus mempunyai mesjid yang disebut babalai bamusajik. Begitu pula, sistem pemerintahan tradisional Minangkabau mendasarkan diri pada konsep yang dikembangkan Kerajaan Pagaruyung. Yakni, ada tiga orang raja yang masing-masing memiliki fungsi dan otoritas, yaitu raja alam, raja adat, dan raja ibadat.
Dari apa yang terjadi sejak awal abad ke-19 sampai sekarang, tampaknya adat dan agama Islam berhasil melalui proses penyesuaian yang saling bisa menerima. Toleransi Islam, seperti ditunjukkan oleh sikap ulama yang tidak mempersoalkan masalah harta pusaka tinggi dan perkawinan tampaknya telah memperkukuh hubungan di antara kedua sistem nilai ini.
Dalam bentuk ritual misalnya, kegiatan ritual yang dilaksanakan masyarakat diisi dengan ajaran-ajaran Islam. Tahlilan merupakan mekanisme Islam menawar tradisi masyarakat dengan cara mengisi acara-acara ritual masyarakat ketika menghadapi kematian. Jika dulu masyarakat sibuk dengan upacara-upacara adat terkait dengan kematian, maka setelah bernegosiasi dengan Islam; diisi dengan Tahlilan. Untuk bidang kesenian sastra, beberapa wawacan di Sunda di antaranya bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam, misalnya Wawacan Carios Para Nabi, Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Kean Santang, Wawacan Syeh Abdul Qodir Jaelani, dsb. Ada pula beberapa lagu-lagu Islami yang dikumandangkan dengan mengandalkan keindahan suara. Contohnya dapat terlihat pada beluk, seni terbang, dan juga cigawiran/pagerageungan. Beberapa jenis kesenian yang menggunakan lagu-lagu salawat Nabi adalah badeng di Ciamis, benjang yang menggunakan lagu-lagu dari rudat, seperti asrokol, badatmala, serta rudat sendiri (seni bela diri di mana setiap gerakannya diiringi dengan lagu-lagu salawat).
Kedua, ketika Islam dipengaruhi oleh tradisi masyarakat, maka yang terjadi adalah proses menerima tradisi masyarakat setempat atau dengan kata lain kemampuan tradisi untuk menundukkan pengaruh lain yang dianggap "berbeda" untuk menjadi bagian dari tradisi. Proses ini biasanya terjadi dalam arsitekstur bangunan rumah ibadah dan beberapa perangkat di dalamnya. Misalnya berpengaruhnya nuansa Sunda kepada Islam terlihat pada bangunan mesjid. Di Sunda pada awalnya banyak masjid yang tidak mengikuti gaya arsitektur Timur Tengah, seperti dalam bentuk kubah (momolo), pintu masuk, dan mihrab, melainkan banyak bentuk masjid yang mengambil arsitektur setempat. Di antaranya bentuk bangunan Masjid Agung Bandung zaman dulu yang terkenal dengan ”bale nyungcung”-nya.
Dalam konteks negosiasi yang bersifat normatif dan niali-nilai justru negosiasiasi digunakan secara prgamatis. Sebagai agama mereka Muslim, tetapi mereka tetap saja mempraktik ritual-ritual tradisinya. Dalam hal ini, tidak terjadi proses peleburan, melainkan berdiri sendiri dalam ranahnya masing-masing. Masyarakat adat yang beragama Islam di Kampung Naga dan Citorek misalnya menunjukkan bahwa agama dan tradisi diperlakukan oleh penganut masyarakat adat secara pragmatis, bukan ideologis. Tradisi lama tetap digunakan bukan dalam kerangka ideologis, namun dalam kerangka pragmatis. Pada masyarakat adat yang beragama Islam (Citorek, Naga, dan Dukuh) terjadi proses pengawinan dua unsur, agama dan tradisi, yang mereka istilahkan sebagai "mendayung di antara dua perahu". Satu sisi mereka mengimani akidah Islam, pada sisi lain mereka menggunakan tata cara bertahan hidup dengan bersumber pada tradisi. Cara berladang atau bersawah merupakan salah satu aktivitas yang merujuk pada tradisi. Pada masayarakat adat, cara berladang (terutama penentuan waktu tanam dan panen) didasarkanpada perhitungan bintang-bintang yang merujuk pada dewa-dewa atau roh-roh. Hal ini tetap digunakan dengan argumen ajaran Islam tidak memberikan aturan dan petunjuk cara bercocok tanam, sekaligus juga bahwa cara tanam tradisi terbukti secara pragmatis menghasilkan panen yang lebih baik.[10]
Dalam kasus lain, orang Sasak Islam Wetu Telu di Bayan, misalnya menganggap adat mereka sebagai nilai-nilai distingtif dan ekspresi dari identitas mereka. Adat memainkan peran sangat signifikan dalam komunitas ini.[11] Pengakuan terhadap Islam oleh orang-orang Wetu Telu Bayan tidak menggeser secara substansial bentuk-bentuk ibadah yang animistik dan antropomorpis, tetapi justru menyumbang lebih jauh bagi ideologi-ideologi asli yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, tidak ada batas yang jelas yang memisahkan ide-ide monoteistik Islam (tauhid) dari animisme dan antropomorpisme yang tertanam dalam adat mereka.
Meskipun dalam skema negosiasi yang kedua masih ada yang belum selesai, pada umumnya proses negosiasi Islam dengan tradisi masyarakat telah menghasilkan watak dan karakter Islam Nusantara yang watak yang damai, ramah dan toleran. Karena watak Islam yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure), dengan kata lain, tidak menggunakan cara-cara ekspansi atau kolonialisasi untuk mendialogkan Islam dengan tradisi masyarakat. Penyebaran Islam di Indonesia yang tidak melalui ekspansi ini memunculkan konsekuensi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi masyarakat. Karakter Islam inilah yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.
Dengan negosiasi Islam terhadap tradisi masyarakat, maka jalan tengah bagi Islam sebagai agama yang absolut tidak akan kehilangan identitas absolutnya di tengah perubahan zaman. Sebaliknya, tradisi masyarakat sebagai entitas yang otonom di dalam masyarakat tidak ditempatkan di dalam posisi yang subordinat-terpinggirkan ketika Islam masuk ke dalam wilayahnya. Pada aras inilah, Islam dan tradisi masyarakat mengalami proses pembauran yang konstruktif. Dengan kata lain, Islam dan identitas kultural masyarakat setempat mengalami proses yang sama untuk secara bersama-sama membangun peradaban baru yang tidak saling mengalahkan, melainkan peradaban baru yang khas dialami masyarakat setempat. Dengan demikian, secara lebih luas, Islam dan identitas kultural tidak akan mengalami ketegangan (konflik), yang akan merusak harmonisasi masyarakat di tengah pluralitas agama dan budaya.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya merupakan bukti kuat akan hal ini.[12] Dengan cara ini, Islam diterima di Nusantara dalam kapasitasnya sebagai kepercayaan baru yang datang dari Arab. Proses negosiasi ini berlanjut secara alamiah dalam tata kehidupan masyarakat sekarang dengan tetap mempertahankan hasil dari akomodasi Islam terhadap tradisi dan kepercayaan masyarakat.
[1] Mengingat tradisi dan struktur sosialnya, adalah sangat sukar bagi seorang Jawa untuk menjadi seorang Muslim ”sejati”, pada tingkat perasaan yang terdalam, suatu agama yang dalam bahasa H.A.R. Gibb, ”meletakkan ukuran-ukuran untuk suatu eksperimen baru dalam agama manusia, suatu eksperimen dalam monoteisme, murni, tanpa dukungan simbolisme apa pun atau bentuk-bentuk seruan emosi lainnya bagi orang biasa, yang tetap tertanam dalam agama-agama monoteisme terdahulu. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 218
[2] Lihat hasil Proceding Training Workshop Penguatan Kesetaraan, Toleransi, dan Perdamaian dalam topik Nilai-nilai Agama dan Budaya terhadap Perdamaian dalam presentasi Bisri Effendy, 30 Mei 2007
[5] Ahmad Ruchiyat, Islam Sunda, Islam Tradisi atau Islamisasi Tradisi?, Pikiran Rakyat, 2 Januari 2003
[7] Edy Utama, “ Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, dalam Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam, (Jakarta: Desantara, 2002), hlm. 124-125
[12] Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 23
KOMENTAR