RamahNUsantara, Bandung - Sembahyang lima waktu ada jangka waktunya. Setiap kita pun diperintahkan agar melaksanakan sembahyang pada jan...
RamahNUsantara, Bandung - Sembahyang lima waktu ada jangka waktunya. Setiap kita pun diperintahkan agar
melaksanakan sembahyang pada jangka waktu tersebut. Tidak mencuri start. Atau
kedaluwarsa. Bagusnya sembahyang di awal waktu setelah azan dan iqomah. Semua
itu berlaku bagi orang dalam keadaan sehat dan lapang tanpa halangan. Bagaimana
mereka yang sakit atau berhalangan lain?
Dalam Fathul Mu‘in, Syekh
Zainuddin Al-Malibari menerangkan.
و
يجوز الجمع بالمرض تقديما وتأخيرا على المختار ويراعي الأرفق فإن كان يزداد مرضه
كأن كان يحم مثلا وقت الثانية قدمها بشروط جمع التقديم أو وقت الأولى أخرها وضبط
جمع متأخرون المرض هنا بأنه ما يشق معه فعل كل فرض في وقته كمشقة المشي في المطر
بحيث تبتل ثيابه. وقال آخرون لا بد من مشقة ظاهرة زيادة على ذلك بحيث تبيح الجلوس
في المرض وهو الأوجه
Menurut
qaul yang mukhtar, seseorang dengan udzur sakit diperbolehkan menjamak dua
sembahyang (Zuhur-Ashar dan Maghrib-Isya, -red.) baik jamak taqdim maupun
ta‘khir. Ia boleh memilih waktu yang terbaik dari keduanya.
Maksudnya,
bila sakitnya meningkat parah seperti panasnya semakin tinggi pada waktu Ashar
atau Isya, maka boleh melakukan jamak taqdim dengan syarat jamak taqdim. Tetapi
kalau sakitnya parah pada waktu Zuhur atau Maghrib, maka lakukan jamak ta‘khir.
Ulama
muta’akhirin menyebut ketentuan bahwa sakit yang dimaksud di sini ialah sebuah
penyakit yang membuat penderitanya sulit mengerjakan sembahyang pada waktunya.
Persis kesulitan bergerak di saat hujan lebat yang dapat membuat pakaian
menjadi basah.
Sementara
ulama lain mengemukakan, kesulitan untuk jamak tidak boleh tidak mesti tampak
dan lebih daripada itu. Kesulitannya kira-kira setingkat dengan kesulitan yang
membolehkan seseorang sembahyang duduk. Inilah pendapat paling mengemuka.
Sementara
Sayid Bakri bin M Sayid Syatho Dimyathi dalam I‘anatut Tholibin menegaskan
sebagai berikut.
أما ما لا يشق على ذلك كصداع يسير وحمى خفيفة
فلا يجوز الجمع معه
Adapun
sakit yang tidak menyulitkan dalam melakukan sembahyang seperti kepala sedikit
pusing atau badan agak meriang, maka tidak diperbolehkan menjamak dua
sembahyang.
Bagaimana
dengan kemacetan yang kerap mendera pengguna lalu lintas atau penumpang
angkutan umum di saat jam macet? Ini juga mesti dilihat dari tingkat
kemacetannya separah apa dan sesulit apa untuk melakukan sembahyang pada
waktunya.
Kalau
memang sangat sulit sekali, dengan menimbang keterangan Fathul Mu‘in berikut
hasyiyah-nya seseorang bisa melakukan jamak menimbang tingkat masyaqqahnya yang
tidak memungkinkan untuk sembahyang pada waktunya.
Ketentuan
udzur yang memiliki tingkat masyaqqahnya sendiri, dibuat oleh kalangan ulama
agar masyarakat umum memiliki panduan perihal kebolehan dan tidaknya menjamak
dua sembahyang. Gampangnya, ketentuan itu dimaksud agar jangan sampai orang
yang berudzur sya’ri memaksakan diri. Jangan juga orang yang senggang dan segar
bugar mengambil jalan pintas; jamak. Wallahu A‘lam
KOMENTAR