Foto: Ilustrasi RamahNusantara, Jakarta - Beberapa hari setelah tulisan saya dimuat di ramahnusantara.com milik LTN NU Jakarta Ti...
Foto: Ilustrasi |
RamahNusantara, Jakarta - Beberapa hari setelah tulisan saya dimuat di ramahnusantara.com milik LTN NU Jakarta Timur, teman
‘’menegor’’ saya dengan mengatakan, ‘’Ibadah itu hubungan hamba dengan Allah
yang sangat pribadi, tidak perlu ditulis secara terbuka. Sehingga bisa
menimbulkan rasa riya atau ingin dipuji orang.
Kalau sudah begitu, maka amal ibdah kita akan akan sirna, bagaikan pasir di atas batu licin
yang dengan mudah sirna dihempas ombak riya tadi.’’ Tegoran itu langsung dikirim ke WA saya secara
japri (Jaringan Pribadi)
Saya terima tegoran itu. Memang, menulis hal seperti
itu, yang saya beri judul ‘’Ketika Allah Berkehendak’’ orang menilainya
macem-macem. Itu hak para pembaca. Tetapi, saya menulis hal itu, dasarnya Al
Quran surat Ad Dhuha ayat terakhir yang berbunyi ‘’Fabini’mati rabbika
fahaddits’’ (Maka, dengan nikmat yang kau terima dari Tuhanmu, ceritakanlah)
Jelas, ketika saya bisa melaksanakan Ibadah Umrah,
itu karena nikmat dari Allah. Bahkan, Allah yang mengatur semuanya hingga
ibadah itu terlaksana. Itulah sebabnya, saya merasa perlu untuk menulisnya atau
menceritakannya kepada para pembaca Blogger.com RamahNUsantara beberapa hari
lalu, sebagai rasa syukur saya atas nikmat tersebut.
Saya hanya ingin
menyampaikan kepada para pembaca, terutama kepada pribadi saya sendiri, bahwa
ketika Allah Berkehendak, maka semua telah direncanakanNya dengan sangat rapi.
Bahkan, saya yang dalam ‘’genggaman dan pengendalianNya’’ tidak bisa berbuat
apa-apa, kecuali mengikuti kehendakNya.
Seperti tulisan saya seri (1) tentang Ibadah Umrah.
Allah hanya menggerakkan petugas Kelurahan Ceger, Cipayung, Jakarta Timur agar mengubah
status pekerjaan saya dari ‘’Wartawan’’ menjadi ‘’karyawan.’’ Kelihatannya
sangat sederhana, tetapi itu telah menjadikan KehendakNya terlaksana dengan
baik setahun kemudian.
Saat itu saya sempat protes pada Lurah Ceger atas
‘’kesalahan’’ penulisan status profesi saya. Tetapi pada saat yang bersamaan
saya harus membuat Paspor untuk memenuhi undangan Bakrie Motor meninjau
pembuatan prototipe Mobil Nasional di Manchester, Inggris. Mobil itu akan
diproduksi perusahaan Group Bakrie di Indonesia.
Kondisi itu, menjadikan saya dalam keadaan
dilematis. Kalau saya lanjutkan protes, dimana KTP saya yang baru terbit akan
diambil pihak kelurahan untuk dikembalikan kepada Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Jakarta Timur. Ini berarti saya tidak bisa bikin Paspor hingga
akhirnya, mungkin kesempatan saya ke Inggris bisa batal. Padahal ini kesempatan
langka dan belum tentu dalam kesempatan lain saya bisa ke Inggris.
Akhirnya, saya ambil lagi KTP tersebut untuk
digunakan pembuatan Paspor di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Sampai akhirnya,
jadilah Paspor saya dengan status pekerjaan ‘’Karyawan’’ bukan Wartawan.
Padahal, dalam pengisian formulir saya tulis pekerjaan saya Wartawan. Itu juga
dilampiri dengan surat pengantar dari Jawa Pos yang juga menjelaskan, saya
sebagai Wartawan Jawa Pos.
Di sini, kembali Allah menunjukkan kekuasaanNya
mengendalikan petugas Imigrasi. Mereka tidak menulis pekerjaan saya sebagai
Wartawan, sebagaimana formulir yang saya isi, melainkan sebagai Karyawan.
Benar-benar Allah mengendalikan semuanya ‘’Ketika Berkehendak’’.
Bagi saya, ini pengalaman yang punya nilai luar
biasa, bagaimana Ketika Allah Berkehendak atas terjadinya sesuatu, semua
diaturnya dengan rapi, sehingga tidak ada celah yang memungkinkan
‘’KehendakNya’’ tidak terlaksana setahun kemudian.
Seperti dalam tulisan itu, Juni 1996 saya berangkat
ke Inggris meninjau pembuatan prototipe Mobil Nasional milik Bakrie Motor.
Setahun kemudian, tepatnya pada Oktober 1997 (bukan November 1997) ada peristiwa menyedihkan, seorang TKW (Tenaga
Kerja Wanita) Indonesia asal Cianjur, Jawa Barat di Riyad, Arab Saudi akan
dieksekusi mati. Maka dipilihlah wartawan Jawa Pos asal Tasikmalaya
untuk dikirim ke Riyad meliput eksekusi mati TKW tersebut. Pertimbangannya, jika
ketemu, mereka bisa wawancara menggunakan bahasa Sunda, sesuai bahasa daerah
asal mereka, Jawa Barat.
Ternyata, Kedubes Arab Saudi di Jakarta, menolak
permohonan visa wartawan Jawa Pos tadi, dengan alasan karena status pekerjaanya
sebagai Wartawan. Saat itu, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi masih alaergi dengan
kehadiran wartawan di negara Petro Dollar itu. Sekarang setiap tahun, banyak
wartawan Indonesia yang meliput kegiatan ibadah haji.
Maka dicarilah wartawan yang punya Paspor dengan
pekerjaan bukan wartawan. Pilihan itu jatuh ke saya karena dalam paspor saya,
status pekerjaan karyawan.
Hari Jumat selepas Shalat Jumat, saya pun menghadap
Dubes Arab Saudi di Jakarta bersama teman saya, Nasmay L Anas yang juga
wartawan Jawa Pos. Tanpa banyak bicara, kami menjelaskan maksud tujuan kami,
yakni mohon visa kunjungan ke Arab Saudi.
Selanjutnya, Dubes itu memanggil sekretarisnya, Yuli
Haris yang juga teman kami untuk mengantarkan Paspor dan tiket pesawat saya ke
petugas bagian yang berwenang menangani permohonan visa. Setengah jam kemudian,
Yuli membawa Paspor tersebut yang telah distempel visa untuk kunjungan ke Saudi
selama 14 hari.
Di sinilah ‘’Kehendak Allah’’ itu mulai terwujud.
Hari Selasa minggu berikutnya, saya pun berangkat ke Saudi dengan tujuan King
Abdul Aziz Airport, Jeddah. Saya langsung mengambil miqat atau niat untuk
Ibadah Umrah ke Masjidil Haram di Makkah dengan mandi dan niat Umrah.
Usai miqat, saya berdiri di pinggir halaman airport
tersebut tanpa tahu untuk apa yang harus saya lakukan. Maklum, saat itu jam menunjukkan pukul 02.00 dini
hari waktu setempat, suasanya sangat sepi, meski keadaannya terang benderang.
Tiba-tiba sedan warna putih datang mendekati tempat saya
berdiri. Salah seorang penumpangnya keluar dan bertanya, apakah melihat seorang
guru besar dari IAIN Syarif Hidyatullah, Ciputat, Jakarta. Saya bilang tidak
tahu. Akhirnya, teman satunya keluar dari sedan itu. Kami ngobrol bersama.
Ternyata, dua orang itu mahasiswa Indonesia yang
kuliah di Ummul Qurra University, Makkah. Mereka dari Makasar dan Banten.
Sayang saya lupa nama mereka. Maklum, baru 20 tahun yang lalu.
‘’Mas mau ke mana,’’ tanya salah seorang di antara
mereka.
‘’Saya mau Umrah,’’ jawabku, singkat.
‘’Sekarang sedang menunggu siapa?,’’ tanyanya
kemudian.
Saya jawab, ‘’tidak ada yang saya tunggu.’’
‘’Kalau begitu, kita bareng ke Makkah,’’ ajaknya dan
saya pun memenuhi ajakan mereka.
‘’Wah.... terimakasih banget nih udah ngajak saya sama-sama
ke Makkah. Padahal ini baru pertamakalinya saya ke sini,’’ kataku dengan rasa
gembira.
Akhirnya, kami pun sampai di Makkah dan diantarkan
untuk menginap di hotel sederhana di seberang Masjidil Haram. Mereka pun
membantu saya proses check in di hotel tersebut. Sekarang hotel itu telah
tiada, diganti hotel-hotel mewah di sekitar Masjidil Haram. Tahun 2012, saat
saya menunaikan ibadah haji, hotel itu saya cari, tetapi telah tiada.
Usai meletakkan barang-barang bawaan di kamar hotel,
saya pun akan langsung menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan Ibadah Umrah.
Dua orang teman tadi lantas meninggalkan saya sendiri. ‘’Bisa melaksanakan
Umrah sendirian?,’’ tanyanya. Saya jawab, ‘’Insya Allah bisa.’’
Mereka pun meninggalkan saya. Saya pun langsung
menuju Masjidil Haram dengan jalan kaki untuk melaksanakan Ibadah Umrah, yakni
Shalat Sunnah dua rakaat, lantas Tawaf, megelilingi Ka’bah 7 kali, dilanjutkan
dengan Sa’i, lari-lari kecil dari Bukit Sowa ke Bukit Marwa, juga 7 kali.
Lantas diakhiri di Bukit Marwa untuk melakukan Tahallul atau potong rambut.
Maka selesailah prosesi Ibadah Umrah itu.
Dari proses itu semua, ini benar-benar Allah lah
yang mengatur semuanya. Semua ini bukan
suatu kebetulan, melainkan suatu perencanaan dari Kehendak Allah Yang
Maha Kuasa atas semuanya. Bayangkan, tiba-tiba ada sedan mendekati saya,
kemudian mengajak ke Masjidil Haram, Makkah. Kalau bukan karena kehendak Allah, bagaimana mungkin mereka tiba-tiba mengajak saya ke Makkah? Mereka memang diutus Allah untuk ‘’menjemput’’
saya.
Yang lebih luar biasa lagi. Seperti cerita di atas,
bahwa saya menggantikan teman wartawan Jawa Pos asal Tasikmalaya tadi ke Riyad,
tetapi visa saya hanya ke Jeddah, Makkah dan Madinah. Ini berarti, saya tidak
bisa ke Riyad meliput eksekusi mati TKW asal Cianjur itu.
Tetapi, Allah punya rencana tersendiri. Saat itu
terjadi pemulangan TKI/TKW besar-besaran. Prosesnya di Madinatul Hujjaj
Indonesia di Jeddah. Seandainya, tidak ada peristiwa ini, jelas saya akan
kebingungan, mau menulis apa saya di Arab Saudi. Peristiwa ini telah menolong
saya, sehingga setiap hari usai melaksanakan Ibadah Umrah tadi, saya membuat
laporan kegiatan pemulangan TKI/TKW besar-besaran akibat Arab Saudi juga
terkena imbas Krismon (Krisis Moneter) Global, sama dengan yang dialami
Indonesia saat itu.
Benar-benar rencana Allah sangat paripurna. Kita
semua tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi besok, lusa dan seterusnya.
Tetapi, Ketika Allah Berkehendak, kejadian setahun yang akan datang atau di
masa mendatang, maka kehendak itu pasti terjadi.
Semoga dengan tulisan ini, akan menjadikan iman dan
keyakinan kita semakin kuat, bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak.
KehendakNya, pasti terjadi. Dan, kita tidak tahu, apa yang Allah kehendaki atas diri.
Kita hanya bisa berusaha, berikhtiar dan berdoa, keputusan akhir yang akan
terjadi hanya Kehendak Allah SWT.
Yang paling utama bagi kita, jalani kehidupan ini
sesuai dengan yang kita alami dengan berkhusnudzan atau berprasangka baik pada Allah.
Bahwa, kehendak Allah itu adalah yang terbaik bagi kita. Karena kita tidak
tahu, apa kehendak Allah sebenarnya pada kita. Dengan berprasangka baik pada
Allah, sudah pasti Allah akan memberikan yang terbaik bagi kita. Itu sudah
pasti.
Subhanallah...
Bahar Maksum
Sekretaris LTN NU Jakarta Timur
KOMENTAR