RamahNUsantara, Jakarta -- Di dalam video yang tersebar, jika Anda menontonnya sampai selesai (seperti yang saya lakukan), mudah diteb...
RamahNUsantara, Jakarta -- Di dalam video yang tersebar, jika Anda menontonnya sampai selesai (seperti yang saya lakukan), mudah ditebak Gus Nur itu berusaha memberikan pesan bahwa NU itu seharusnya merasa rugi jika tidak memiliki dia. NU itu harus menyesal jika ditinggalkan. Apalagi yang meninggalkan NU adalah "orang penting" yang tidak lain adalah dirinya.
NU, dalam ulasan Gus Nur, hanyalah bus umum. Ruh spiritualnya adalah mazhab Imam Syafi'i. Dia beralasan, dengan keluarnya dari NU, ia masih dapat menjadi mulia dengan meraih ruh spiritual mazhab Syafi'i.
(Imam Jakfar Al-Shadiq, meskipun tabahhur, namun tidak berkeinginan mendirikan mazhab baru [padahal sebenarnya beliau sangatlah layak untuk mencalai maqom itu] dan mencukupkan umat muslim "memeluk" satu dari empat mazhab mu'tabar.
Untuk mengurai satu mazhab saja, banyak ulama tampil dan mencukupkan dirinya sebagai mujtahid mazhab [pendetail mazhab]. Dalam satu mazhab, tradisi pemilihan pendapat mu'tamad dan ghairu mu'tamad sangat ketat akademis. Jadi memeluk mazhab tidaklah sesederhana goreng mendoan)
Gus Nur itu semacam orang yang berusaha memberikan "kesan pintar" dengan melontarkan logika yang meloncat-loncat (saya kira ia ingin meniru dialektika ala Cak Nun) yang dilihat sekilas secara kognitif nampak beraturan, tapi landasan premis dan logikanya ngawur; sehingga argumennya jelas berantakan.
Semacam manusia "social climber" dengan bahan bakar PeDe dan keras kepala. Semacam manusia yang ingin memberikan citra "saya ini sangat penting dan luhur, lho" namun dibungkus dengan kepalsuan.
NU tidak pernah menjadi besar karena di dalamnya ada orang bernama Gus Nur. NU pun tidak rugi jika di dalam NU tidak ada orang seperti Gus Nur.
Tentu Anda ingat bagaimana Gus Nur menisbatkan dirinya seperti Bruce Lee.
Bruce Lee, menurut dia, pernah dicemooh dunia persilatan karena mempraktikkan teknik Kung Fu yang diluar pakem. Pakem itu tidak boleh dilanggar secara tradisi kanuragan. Tapi, dunia akhirnya melihat Bruce Lee sebagai legenda yang diakui dunia persilatan.
Nah, bagi Gus Nur untuk menjadi kiai tidaklah perlu memiliki kemampuan membaca kitab kuning (Arab Gundul). Umat NU menyaratkan kitab kuning sebagai acuan ke-kiai-an seseorang karena dari dulu sudah dicekoki doktrin seperti itu. Cekokan inilah yang akhirnya menjadi pakem; jika tidak bisa kitab kuning, ya tidak mungkin jadi kiai.
Gus Nur ingin tampil seperti Bruce Lee; menjadi legenda dengan menerabas pakem. Di samping dia sendiri memang tidak bisa membaca kitab kuning, ia ingin memberi pesan bahwa pakem itu tidaklah penting untuk diikuti (sepertinya tidak perlu IQ tinggi untuk mencerna maksud Gus Nur ini).
Dia hanya ingin menutupi ketidakmampuannya membaca kitab kuning dengan alasan-alasan konyol. Penarikan kisah Bruce Lee kepada kasus dirinya adalah analogi berantakan yang teramat jelas setolol apa dia (sejelas terik matahari di siang bolong).
Jika mengacu pada pepatah Arab, Gus Nur ini adalah orang bodoh yang tidak tahu jika dirinya ini bodoh. Orang bodoh sebenarnya tidak memikiki mazhab. Hanyasaja dia terlalu yakin kebodohannya bukanlah sebuah kebodohan.
NU itu terlalu besar untuk meladeni dia. Banser/Ansor pun terlalu tanggung jika mengurusi dia. Tapi terlalu membuli dia juga sama bodohnya.
Sumber Facebook: @Rumail Abbas
KOMENTAR