Foto: AJP RamahNUsantara, Jakarta - Zakat profesi atau jasa disebut juga زكاة كسب العمل yang berarti mengeluarkan sebagian harta d...
Foto: AJP |
RamahNUsantara, Jakarta - Zakat profesi atau jasa disebut juga زكاة
كسب العمل yang berarti mengeluarkan sebagian harta dari hasil gaji,
komisi atau bayaran suatu pekerjaan atau profesi, baik sebagai karyawan,
dokter, konsultan, pengacara, penjahit, pemborong, kontraktor, makelaran,
pengajar dan lainnya, baik itu pegawai negeri atau swasta. Diwajibkan
mengeluarkan zakat setelah mencapai satu nishab dan memenuhi syarat dengan niat
zakat karena Allah.
Istilah ‘zakat
profesi’ sebenarnya tidak dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan diliteratur kitab salaf, bahkan sebagian fuqaha’ salaf tidak
menyebutkannya sebagai harta yang wajib dizakati. Karena harta yang wajib
dizakati secara eksplisit hanya meliputi beberapa macam yaitu harta 1. Masyiyah
(hewan ternak); 2. Naqd (emas dan perak); 3. Zuru’ (hasil pertanian); 4. Tsimar
(buah-buahan); 5. ‘Arudl Al-Tijarah (harta dagangan); 6. Ma’dan (hasil
pertambangan emas dan perak); 7. Rikaz (temuan harta dari pendaman orang
jahiliah); 8. Madu. Sedangkan ‘penghasilan profesi’ tidak disebutkan dalam
macam-macam harta tersebut
Zakat merupakan
salah satu rukun islam. Karena masuk pada rukun, maka ibadah seperti zakat
wajib difahami oleh kita semua. Selain wajib faham, tentu kita harus
mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Mengenai zakat
penghasilan atau yang sering disebut dengan zakat profesi, merupakan hasil
ijtihad beberapa ulama kontemporer. Istilah zakat profesi sebetulnya tidak
dikenal pada masa Rasulullah SAW, para sahabat dan generasi selanjutnya. Dengan
berkembangnya zaman, tentu berkembang pula permasalahan yang ada. Dengan
demikian, ijtihad dalam masalah atau hal-hal baru memang tidak bisa diabaikan
begitu saja. Ijtihad para ulama untuk masalah kontemporer memang sangat
dibutuhkan.
Namun yang menjadi
permaslahan adalah, apakah zakat profesi masuk pada masalah kontemporer atau
klasik ?
Dari sinilah para
ulama berbeda pendapat tentang status hukum zakat profesi itu sendiri. Sebagian
ulama ada yang menentangnya dengan alasan bahwa zakat profesi tidak pernah ada
di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Selain tidak ada pada zaman
Nabi, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang tentu sudah qath’i sehingga
tidak ada ijtihad dalam masalah ini. Namun, menurut sebagian ulama lainnya,
zakat profesi adalah wajib. Apalagi profesi zaman sekarang sudah beragam
dan adakalanya menghasilkan jumlah yang besar bahkan sangat besar. . Salah satu
dalil utama yang mereka kemukakan adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
yaitu Surat Al-Baqarah ayat 267 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا
فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS.
Al-Baqarah : 267)
Zakat diwajibkan
berdasarkan al-Qur’an, Sunah, dan Ijma’ Ulama. Dalil-dalil yang terdapat dalam
al-Qur’an banyak menggunakan bentuk amar (perintah) atau intruksi.
Hal ini didasarkan
pada firman Allah:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.“
(QS. Al-Baqarah: 219)
Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menyebutkan bahwa menurut Ibnu Abbas, "al-‘Afw" adalah
“sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga”. Demikian juga diriwayatkan dari
Ibnu Umar, Mujahid, ‘Atha, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab,
Hasan, Qatadah, Qasim, Salim, ‘Atha Khurasani, Rabi’ah bin Anas, dan lainnya
berpendapat bahwa arti al-‘Afwu dalam ayat tersebut adalah “lebih”.
Hal ini juga
ditunjukkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber
dari Abu Hurairah:
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ
عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُعَلَى
أَهْلِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى
وَلَدِكَ قَاعِنْدِيآخَرُ قَالَ فَأَنْتَ أَبْصَرُ.
“Seorang laki-laki
berkata: Wahai Rasulullah, saya memiliki satu dinar. Lalu Rasulullah saw
menjawab: Nafkahkanlah untuk dirimu sendiri. Ia berkata lagi: Saya mempunyai
yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab: Nafkahkanlah kepada keluargamu. Ia
berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi. Rasulullah saw menjawab:
Nafkahkanlah kepada anakmu. Ia berkata lagi: Saya mempunyai yang lain lagi.
Rasulullah saw menjawab: Kau (berarti sudah) mempunyai kelapangan.”
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan seseorang, istri, dan anaknya lebih didahulukan daripada kebutuhan
orang lain.
Muslim juga
meriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
kepada seorang laki-laki:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ
فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ
فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. [رواه مسلم]
"Berikanlah
terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu; bila lebih, maka untuk istrimu; bila
masih lebih, maka untuk keluarga terdekatmu; bila masih lebih lagi, berikanlah
untuk lain-lain.” [HR. Muslim]
Sehubungan zakat
profesi diqiyaskan kepada emas, maka disyaratkan adanya haul. Jadi, semua harta
yang didapat selama satu tahun berjalan digabungkan, dan jika ada sisa harta
dalam satu tahun yang mencapai nisab maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Tetapi dalam hal ini
boleh juga mempercepat pengeluaran zakat. Hal ini berdasarkan hadis dari Ali
r.a.:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ
فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ. [رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلاَّ النَّسَائِيّ]
Bahwa Abbas bin Abdul
Muthallib bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
menyegerakan (mempercepat) pengeluaran zakatnya sebelum datang waktu halalnya
(satu tahun), lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan hal itu.”
[HR. lima ahli hadits kecuali an-Nasa’i]
Asy-Syaukani dalam
kitab Nailul Authar menyebutkan bahwa sanad hadis ini ada komentar, tetapi
dikuatkan oleh hadits-hadits lain, diantaranya riwayat Abu Dawud dan Thayalisi
dari hadits Abu Rafi’:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعُمَرَ:
إنَّا كُنَّا تَعَجَّلْنَا صَدَقَةَ مَالِ الْعَبَّاسِ عَامَ اْلأَوَّلِ.
Sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Umar: "Sesungguhnya kami
telah mempercepat pengeluaran zakat harta Abbas pada tahun pertama.”
Seorang yang
mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas/tahun) wajib
mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun.
Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan
yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat
tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di
akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada
Allah Ta'ala) bukan hanya sekedar hak mustahiq. (Ibn Rusyd. Bidâyat
al-Mujtaahid, jilid 1 hal. 252-253).
Jadi, jika mempunyai
penghasilan tetap yang bisa diprediksi jika dihitung untuk waktu satu tahun ke
depan telah mencapai nisab, maka bisa dikeluarkan zakatnya pada saat
mendapatkan penghasilan itu.
Contoh Perhitungan
Zakat Profesi:
Gaji seorang pegawai
sebuah perusahaan swasta nasional adalah Rp. 3.500.000,- per bulan. Setelah
dipotong biaya hidup sehari-hari seperti biaya dapur/makan, pendidikan,
kesehatan, listrik, pembayaran hutang dan kebutuhan pokok lainnya ternyata
masih tersisa Rp. 1.850.000,- Jika dikalkulasi, dalam setahun ia mendapat Rp.
1.850.000,- x 12 = Rp. 22.200.000,-. Nishab zakat profesi adalah setara harga
85 gr emas murni 24 karat. Jika harga emas murni 24 karat per gram adalah Rp.
250.000,-, maka nishab zakat profesi adalah Rp. 21.250.000.
HITUNG ZAKAT PROFESI ANDA DISINI: HITUNG ZAKAT PROFESI
Dengan demikian, gaji
pegawai tersebut sudah mencapai nisab dan ia wajib mengeluarkan zakat sebesar
2,5 % x Rp. 1.850.000,- = Rp. 46.250,- jika dikeluarkan per bulan, atau 12 x
2,5 % x Rp. 1.850.000,- = Rp. 555.000,- jika dikeluarkan per tahun.
Kesimpulan
Dari keterangan di
atas, bisa kita simpulkan bahwa zakat profesi diakui oleh syariah dan mempunyai
landasan dari al-Qur’an dan sunnah sebagaimana yang tersebut di atas. Zakat
profesi hanya sebuah istilah, kalau tidak setuju dengan istilah ini, bisa
menyebutnya dengan zakat maal.
Adapun cara
pengeluarannya dan besaran uang yang harus dikeluarkan dari zakat profesi ini
mengikuti tata cara dan besaran dalam zakat emas, dan harus sudah melalui waktu
satu tahun. Wallahu a’lam bish-shawab
Penulis:
KH. Asimun Mas'ud
Penasehat LTN NU Jakarta Timur
KOMENTAR