Foto: Istimewa RamahNUsantara, Yogyakarta - Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dib...
RamahNUsantara, Yogyakarta - Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi,
hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda
“titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang
dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin
Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri,
sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras.
Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”.
Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”.
Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena
punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku
Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena
punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”,
maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “
Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu
bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250
hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham
pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Baca Sebelumnya >> NU Membawa Islam Model Kanjeng Nabi
Baca Selanjutnya >> Murid Ulama itu Beda Dengan Murid Rasulullah
KOMENTAR