Foto: Syaroni As Samfuriy RamahNUsantara, Jakarta - Tumpeng pada perayaan HUT ke-72 TNI, di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Provinsi Bant...
Foto: Syaroni As Samfuriy |
RamahNUsantara, Jakarta - Tumpeng pada perayaan HUT ke-72 TNI, di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Provinsi Banten, Kamis 05 Oktober 2017.
Turut hadir mendampingi Presiden dan Ibu Negara Iriana bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla dalam upacara peringatan tersebut, diantaranya sejumlah menteri anggota Kabinet Kerja dan para duta besar dari negara sahabat.
Tampak hadir pula Wakil Presiden ke-6 Republik Indonesia Try Sutrisno dan Ibu Tuti Try Sutrisno, Wakil Presiden ke-11 Republik Indonesia Boediono serta Ibu Sinta Nuriyah Wahid. Dari para ulama nampak diantaranya KH. Sholeh Qosim, KH. Maimoen Zubair, TGKH. Turmuzi Badruddin dan Habib Luthfi Bin Yahya.
Filosofi Tumpeng
Pada awalnya, nasi tumpeng dibuat untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para arwah leluhur (nenek moyang). Sebab tumpeng erat kaitannya dengan keadaan alam Indonesia yang banyak dipenuhi gunung berapi. Meski begitu, dahulu dan sekarang kehadiran nasi tumpeng tetap sama, yakni sebagai perwujudan rasa terimakasih pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Nasi tumpeng bukan hanya sekadar makanan dengan tampilan yang menarik dan rasa yang lezat. Kehadiran nasi berbentuk kerucut yang disertai lauk pauk pilihan ini, begitu sarat makna filosofis yang indah. Nasi tumpeng merupakan bentuk representasi hubungan antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan sesamanya.
Secara etimologi dalam masyarakat Jawa, ditemukan bahwa kata 'tumpeng' merupakan akronim dari kalimat 'yen meTu kudu meMPENG'," yang berarti "ketika keluar harus sungguh-sungguh semangat". Jadi ketika manusia terlahir harus menjalani kehidupan di jalan Tuhan dengan semangat, yakin, fokus, tidak mudah putus asa. Juga dalam proses itu semua, percayalah bahwa Tuhan ada bersama kita.
Maka tak heran jika nasi tumpeng memiliki bentuk kerucut yang merepresentasi konsep ketuhanan dengan sesuatu yang besar dan tinggi, dan berada di puncak. Selain itu, bentuk yang menjulang ke atas juga menyimbolkan harapan agar tingkat kehidupan manusia semakin ‘tinggi’ alias sejahtera.
Nasi kerucut ini ditata di atas tampah yang beralaskan daun pisang. Di sekelilingnya tersaji lauk-pauk berjumlah 7 macam. Angka 7 dalam bahasa Jawa berarti pitu. Angka pitu ini artinya pitulungan (pertolongan). Tak hanya bentuk saja, penyajian nasi tumpeng beserta lauk pelengkapnya juga memiliki filosofi dan makna tertentu. (Syaroni As-Samfuriy)
KOMENTAR