foto: alix RamahNUsantara, Jakarta - Ketika masih berada di Baghdad, suatu ketika Imam Syafi’i berziarah ke maqbarah Abu Hanifah Ra d...
foto: alix |
RamahNUsantara, Jakarta - Ketika masih berada di Baghdad, suatu ketika Imam Syafi’i berziarah
ke maqbarah Abu Hanifah Ra di daerah Khaizaran. Di dekat maqbarah Abu
Hanifah, Imam Syafi’i sempat melakukan shalat dua rakaat dan tidak
mengangkat kedua tangannya.
Cukup
mengherankan, karena beliau justru melakukan ritual ibadah yang
bertentangan dengan madzhabnya. Imam Syafi’i ditanya, “Kenapa engkau
keluar dari kaidah-kaidah madzhabmu?” Beliau menjawab, “Karena menjaga
adab kepada Imam Abu Hanifah dengan tidak menampakan perbedaan di
hadapannya.”
Dalam riwayat lain disebutkan Imam
Syafi’i meninggalkan bacaan qunut subuh saat shalat di sekitar maqbarah
Abu Hanifah. Ada lagi yang menyebutkan beliau tidak membaca basmalah
dengan keras saat shalat di tempat yang sama.
Jawabannya
sama, Imam Syafi’i mengatakan dengan singkat nan padat, "Karena menjaga
adab kepada pemilik maqbarah ini (Abu Hanifah)."
Dalam
kajian fiqih, madzhab Syafi’i menyunahkan mengangkat kedua tangan,
membaca doa qunut dan membaca keras bismillah, berbeda dengan pendapat
madzhab Hanafi.
Mengapa Imam Syafi’i bersikap sekontroversial itu? Apakah beliau tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri?
Syekh KH. Mahfuzh Termas dalam kitabnya Hâsyiyah al-Tarmâsi ‘alal Minhâj al-Qawîm menjelaskan
bahwa sikap Imam Syafi’i tersebut, meskipun terlihat aneh, namun
mengandung beberapa pelajaran besar di dalamnya. Bukannya tidak
konsisten, namun beliau mengambil sikap yang justru menunjukan keluasan
pandangan dan kebijaksanaan beliau. Bila diteliti lebih dalam lagi,
sebenarnya tidak ada yang aneh dari sikap Imam Syafi’i.
Sikap Imam Syafi’i yang bertentangan dengan kaidah madzhabnya, mengajarkan kepada kita beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pentingnya menjaga adab kepada ulama, terlebih kepada yang lebih senior meskipun sudah meninggal. Kedua,
perkara sunah terkadang lebih baik ditinggalkan untuk tujuan yang lebih
penting. Seperti menjaga adab, mengajarkan orang awam, dan lain-lain.
Hal tersebut tidak mengherankan, sebab Nabi shallahu ‘alaihi wasallam sendiri
tidak menjalankan anjuran merekontruksi bangunan Ka’bah karena menjaga
perasaan orang Quraisy yang masih baru mengenal Islam.
Ketiga,
pentingnya menjaga marwah dan kewibawaan ulama. Imam Syafii bermaksud
menjaga kehormatan dan kemuliaan Abu Hanifah yang pada waktu itu banyak
dicaci maki oleh para pembencinya. Fitnah dan cacian kepada Abu Hanifah
tidak hanya terjadi saat beliau masih hidup, namun juga terjadi setelah
beliau wafat. Imam Syafi’i memanfaatkan kebesaran namanya dengan membuat
langkah yang cerdik untuk meredam fitnah tersebut.
Keempat, pentingnya menunjukan derajat keagungan ulama di hadapan khalayak. Kelima,
perbuatan yang manfaatnya juga dirasakan orang lain lebih utama dari
pada amaliyah yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Keenam, penjelasan dengan perbuatan lebih mengena dari pada terbatas dengan ucapan.
Imam
Syafii menjelaskan tentang keagungan Abu Hanifah sekaligus pentingnya
menjaga adab kepada para senior yang tidak sependapat. Beliau
menyampaikan maksud dakwahnya tersebut dengan perilaku beliau secara
langsung. Dengan segenap kebesaran dan kerendahan hatinya, Imam Syafi’i
bahkan rela meninggalkan pendapatnya sendiri yang beliau yakini
kebenarannya.
Penjelasan di atas disampaikan Syekh Mahfuzh Tarmasi mengutip dari kitab al-Khairat al-Hisan karya
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami. Di bagian akhir kutipannya, salah satu
ulama nusantara ini menyampaikan bahwa keterangan tersebut merupakan
ilmu yang sangat penting untuk diketahui, meski cukup panjang. Tidak
biasanya beliau mengutip pendapat ulama lain sepanjang itu.
Demikian
hikmah di balik Imam Syafi’i yang bersikap menyalahi kaidah madzhabnya.
Semoga kita bisa mengambil manfaatnya. Semoga kita diberi hati yang
lapang untuk menghargai pendapat orang lain serta tidak mudah memvonis
salah perbuatan seorang tokoh yang dikenal kealimannya. (NU Online)
Uraian di atas bersumber dari Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hâsyiyah al-Tarmâsi ‘alal Minhâj al-Qawîm, (Jedah: Dar al-Minhaj), cetakan pertama tahun 2011, juz.3, hal. 456-457; dan Ahmad Abdul ‘Ali al-Thahtawi, 250 Qishah min Hayâtil Aimmah al-Arba’ah (Kairo: Dar al-Ghad al-Jadid), cetakan pertama tahun 2008, hal.36.
KOMENTAR