Foto: Ilustrasi (jakartabeat) R amahNUsantara, Jakarta - Pejuang adalah pahlawan, yang berasal dari kata: pahla + wan, yang berpahla ...
Foto: Ilustrasi (jakartabeat) |
Oleh:
Drs.Nur Ali Al-Fatawiy
Setelah perang Pasifik berakhir, semua kekuasaan Jepang berada di bawah pengawasan pasukan Sekutu. Pasukan Sekutu yang bertugas menangani lndonesia bernama Allied Forces Netherlands East lndies (AFNEl).
Pasukan AFNEI yang mayoritas merupakan serdadu lnggris itu dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, sedangkan AFNEI dari brigade 49 mendaratnya di Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. AFNEI istilah lndonesianya adalah tentara sekutu karena para tentaranya bukan hanya Belanda.
Berlabuhnya Kapal di Tanjung Priok Jakarta
AFNEI mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Mengurus penyerahan, perlucutan, dan pemulangan tentara Jepang, 2) Membebaskan tawanan perang atau Relief of Allied Prisoners and War lnternes (RAPWI), 3) Memulihkan keamanan dan ketertiban, 4) Mencari dan mengadili para penjahat perang.
Kedatangan AFNEI didahului oleh beberapa kelompok penghubung. Kelompok pertama tiba di Jakarta pada tanggal 8 September 1945. Kelompok ini dipimpin oleh Mayor Greenhalg, ia datang dengan cara terjun payung di Lapangan Udara Kemayoran.
Pada tanggal 29 September 1945, kapal perang lnggris Cumberland yang membawa Laksamana Petterson berlabuh di Tanjung Priok dan disusul oleh kapal perang Belanda, Tromp.
Sejalan dengan tugas-tugas yang akan dilaksanakan Pasukan Sekutu tersebut, para pemimpin lndonesia menyambut baik kedatangan mereka. Tetapi setelah diketahui Pasukan Sekutu membawa tentara NICA atau Belanda, para pemimpin lndonesia meragukan maksud dan i'tikad baik kedatangan Pasukan Sekutu tersebut.
Guna meraih simpati para pemimpin lndonesia, pada tanggal 1 Oktober 1945, Panglima AFNEI bersedia mengakui kemerdekaan lndonesia secara de fakto. Sejak adanya pengakuan secara de fakto, para pemimpin lndonesia menerima kedatangan tentara lnggris. Inggris tidak akan mencampuri persoalan-persoalan yang menyangkut status kenegaraan lndonesia.
Pejuang Betawi Guru Yahya bin H. Muslim
Mereka para tentara Sekutu bukan hanya datangi pemimpin kenegaraan saja bahkan kepada pemimpin Agama, seperti Guru Yahya bin H.Muslim yang tinggal di daerah Kampung Rambutan pun didatanginya. Saat itu tempat Guru Yahya tinggal termasuk bagian dari kampung Ceger yang sekarang lokasinya di daerah Terminal Kampung Rambutan.
Guru Yahya bin H.Muslim, ulama kampung di Jakarta Timur yang kedudukannya saat itu sebagai Rois Syuriyah Masyumi tingkat Distrik Kramat Jati, adalah masih anak buah KH.Hasyim Asy'ari dalam Masyumi, Beliau mempunyai banyak murid atau santri.
Para murid dari sang Guru Yahya bin H. Muslim, yang diberikan amalan-amalan perang, di antaranya adalah Bungkus muda yang menjadi tentara Rl di daerah Ceger Bulak atau sekarang di kenal kampung Rambutan itu, murid lainnya yang juga jadi tentara adalah Salih dan Atmaja.
Murid dari Guru Yahya yang lainnya adalah Ju'an yang punya teman, Samam, namanya. Samam muda ini mau dibawa Sekutu Belanda, lalu dibelanya, dengan berani, yang berakibat tidak jadi dibawa, namun mertua lakinya tetap dibawa, demikian pula Samin orang tua dari Thohir.
Tidak ketinggalan Naman saudara tuanya Nata yang sempat dibawa Sekutu Belanda.
Salah satunya lagi adalah Entong Cengkrong yang mampu merampas senjata Sekutu Belanda di daerah Gudang Air.
Guru Yahya bin H.Muslim ini telah berjuang mempertahankan Negara dan Agama lslam sejak zaman Jepang. Jepang menyuruh masyarakat sekolah untuk melaksanakan Sei keirei, Guru Yahya menolaknya, sehingga beliau tidak bersekolah umum milik Jepang, bahkan Beliau anti PKI yang berakibat adik iparnya, Sulaiman kena sasaran korban ketidakadilan PKI sama seperti yang terjadi pada Piere Tendean belasan tahun kemudian.
Selain itu Guru Yahya bin H.Muslim ini pun benci dengan penjajahan apa lagi saat kehadiran NICA/ Sekutu Belanda dengan mobil tank-tanknya, dengan angkuhnya mereka, yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan lndonesia dikumandangkan.
Lebih-lebih setelah adanya resolusi jihad oleh atasannya, KH.Hasyim Asy'ari baik dari organisasi NU maupun Masyumi. Atas dasar itu pula, maka diinformasikanlah itu resolusi jihad NU oleh Guru Majid kepada muridnya, Guru Yahya dan dari Masyumi, Guru Yahya kepada para santrinya.
Sekutu Belanda tidak tahu-menahu lndonesia sudah merdeka atau belum. Baik tahu maupun tidak tahu mereka tetap berkehendak untuk menjajah kembali. Mereka datang hanya untuk menerima pelimpahan kekuasaan dari Jepang. Jepang wajib menyerahkan kekuasaannya dan Jepang yang sudah kalah perang harus menjaga status quo sebagai mana yang sudah jadi kewajibannya sejak sebelum adanya proklamasi.
Muncul Anak Muda Bernama Bungkus
Saat itu pun Sekutu Belanda mendatangi rumah-rumah orang kampung di Jakarta bahkan dengan angkuh, tank-tanknya ada yang sampai ke sawah-sawah kering dilindes oleh mobil tank-tank itu.
Saat ada sang remaja, Bungkus namanya, ia ingin berjuang menjadi tentara RI, maka datang lebih dahulu kepada Guru Yahya selaku gurunya, demikian pula pemuda Atmaja minta izin jadi tentara, lalu keduanya diberi izin. Atmaja berkata;"Guru, aye mau berjuang jadi tentara", lalu Guru Yahya menjawab:"Lho. Benner lu". Mendengar jawaban itu keduanya mengangguk-angguk.
Pada waktunya H.Bungkus kemudian sudah pergi haji. Menurut pelaku sejarah H.Bungkus Ceger bahwa dulu Bungkus Ceger ini dapat bekal dari Guru Yahya untuk perjuangannya. Pada waktunya, jadilah ia tentara dengan senjata di rumah orang tuanya.
Setelah ada penggeledahan, seperti rumah-rumah rakyat yang lain pun sama digeledah, maka giliran remaja Bungkus, rumah orang tuanya jadi sasaran amuk, dibakar oleh tentara Sekutu Belanda. Semula remaja Bungkus ini oleh sang Guru atau Kiai telah diberi amalan-amalan berupa bacaan-bacaan dalam berjuang agar diri aman dan selamat. Al-hamdulillah rumah dibakar, namun dirinya selamat.
Saat Sekutu Belanda, mendatangi rumah Halimah binti Ali, salah satu rumah penduduk di daerah kampung Rambutan, maka digeledah, dicari di sana-sini, ada senjata apa tidak.
Saat penggeledahan itu, maka ada dua anak putrinya yang masih kecil, Nenganah dan Amenah ketakutan, lalu ngumpet ke dalam kurungan ayam, maklum masih anak kecil saat itu.
Kemudian pada waktunya wanita yang bernama Nenganah ini dinikah oleh santri muda, Harun bin Guru Yahya. Kemudian Harun muda dan Nenganah muda tetap jadi santri, belajar ngajinya kepada Guru Yahya. Hj.Halimah yang punya umur panjang ini pernah berkata;"Guru Yahya kalau lagi ngajar, bersih dia mah, laler juga takut ndeketin".
Usai penggeledahan dari rumah-rumah kampung, akhirnya datang pula tentara sekutu Belanda di rumah Guru Yahya, dimana iparnya, Sulaiman telah diberinya senjata masuk tentara Masyumi.
Sekutu Belanda ini diterima oleh Guru Yahya, disuruh duduk, di hadapan Guru Yahya. Sebagian yang lain menggeledah, mencari-cari ada senjata api apa tidak. Ternyata tidak diketemukannya senjata api, hanya aneh ada golok saja yang lagi goyang-goyang sendiri di dalam sarungnya.
Menurut salah satu santrinya, Atmaja namanya. Ia juga pernah berkata:"Guru Yahya itu punya golok, golok itu biasanya Saya yang pegang, setiap saat pergi ta'lim di malam hari. Golok itu dengan sendirinya, bunyi klotak-klotak saat ada bahaya musuh, dengan bunyi itu tiba-tiba macan pun ada di dekatnya".
KH. M. Dahlan, salah seorang santri Guru Yahya ini berkata bahwa Guru Yahya itu punya senjata hidup berupa dua macan, pernah dilihatnya, macan itu lagi menderum di depan rumah Guru Yahya itu. Santrinya yang lain, M.Zein berkata bahwa dia pernah melihat macannya Guru Yahya itu lagi minum. Berkata Atmaja bahwa saat ia pergi taklim, melewati perkebunan bambu pada malam hari, diikuti macan, namun macan itu tidak berani menerkam santri-santri, termasuk Gurunya santri-santri itu, yakni: Guru Yahya. Saat itu berkata Guru Yahya:"Biarin tuh macan, jangan diganggu".
Itulah mungkin yang menjadi takutnya para tentara Sekutu Belanda yang pergi meninggalkan rumah Guru Yahya dengan tiba-tiba, tanpa menembaknya, karena mereka yakin bahwa tak kan mempan pelor menembus tubuhnya seperti halnya gigi macan pun tidak mampu mencengkeramnya. Habib Husain Al-Habsyi murid sekaligus adik iparnya ini pernah berkata:"Guru Yahya ini orang zaman dulu. Orang-orang dulu memang banyak yang anti peluru".
H.Asmat salah satu santrinya yang lain berkata: "Perjuangan Guru Yahya ini demi mengajarkan Agama ke masyarakat walaupun di tengah jalan harus melewati kali tanpa jembatan, terus aja walaupun air kali itu seleher tingginya.
Dulu tembakan Belanda sana-sini, dia ma gak takut, dan tak pernah kena ketembak, demikian seperti itu pula Habib Husain Al-Habsyi dan Habib Musthafa ditembak gak mempan". Hal itu seperti yang dikatakan pula oleh Habib Husain Al-Habsyi.
Usai meninggalkan Guru Yahya bin H.Muslim ini, maka meja bekas pegangan pemimpin sekutu Belanda ini dilap dengan air seember, demikian pula bekas duduknya. Pokoknya semua yang kena jamahan para tentara sekutu itu dilapnya, karena Beliau tahu Q.S, At-Taubah (9:95) bahwa orang kafir itu adalah najis.
Salah seorang santrinya, Sailan, namanya, yang melihat kejadian itu, maka bingung kenapa meja bangku bekas tentara sekutu itu dilap pake air seember? Kemudian setelah guru Yahya ini sudah wafat dan sang santri ini sudah pergi haji, menjadi H.Sailan, maka pertanyaan itu baru diajukan kepada sang cucu dari Guru Yahya itu.
Sang cucu menjawab, di antaranya ialah karena Pemimpin dan Para tentara Sekutu Belanda yang datang ke rumah Guru Yahya itu adalah orang kafir dan orang kafir itu adalah najis.
Itulah satu potret sosial Ulama Betawi terhadap Sekutu Belanda yang laksana minyak dan air dalam botol, walaupun dikocok dalam satu botol tetap tidak akan menyatu dengan penjajah.
Tanjung Perak Surabaya dan Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy'ari
Pada tanggal 22 Oktober 1945, melihat Jakarta sudah didatangi tentara Sekutu, maka rakyat dan TKR di Surabaya dipantik dengan resolusi jihad oleh KH.Hasyim Asy'ari. Jaga-jaga kalau tentara Sekutu menyerang Surabaya. Kebetulan Republik lndonesia saat itu belum punya tentara yang jika dihubungkan namanya dengan istilah lndonesia. Adanya baru TKR, Tentara Keamanan Rakyat.
Akibatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan AFNEI dari Brigade 49 mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Pasukan ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.
Pasukan AFNEI menjamin bahwa tidak ada pasukan Belanda yang membonceng dan tugas mereka hanya melucuti tentara Jepang.
Ternyata AFNEI melanggar kesepakatan itu dengan melakukan tindakan provokasi sebagai berikut.
Pada tanggal 26 Oktober 1945, satu pleton pasukan AFNEI menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang Kolonel Angkatan Laut Belanda.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, pasukan AFNEI menduduki Tanjung Perak, Kantor Pos besar, gedung internatio, dan tempat-tempat penting lainnya.
Masih pada hari yang sama, pesawat terbang AFNEI menyebarkan pamflet yang berisi perintah kepada rakyat Surabaya untuk menyerahkan senjata yang dirampas dari tangan tentara Jepang.
Tindakan provokasi itu menghapus kepercayaan pemerintah Republik Indonesia di Surabaya terhadap AFNEI. Barulah setelah itu, pemerintah segera memerintahkan para pemuda dan TKR untuk bersiap-siap.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadilah pertempuran antara pasukan lndonesia melawan AFNEI. Saat tengah terjadinya situasi kritis, Presiden Soekarno dihubungi Komandan Divisi XXlll, induk pasukan Brigade 49, Jenderal D.C Hawthorn, untuk membantu meredakan serangan pasukan lndonesia.
Pada tanggal 29 Oktober 1945, Soekarno didampingi Hatta dan Amir Syarifuddin tiba di Surabaya. Pemerintah Republik Indonesia dan AFNEI mencapai kesepakatan dibentuklah panitia penghubung (contact comitee) untuk menjernihkan kesalahpahaman dan menyerukan gencatan senjata.
Namun gencatan senjata berakhir setelah terjadi insiden di gedung lnternatio yang menewaskan Brigadir Jenderal Mallaby akibat para santri, para pemuda, dan TKR yang tergabung dalam Ansor yang sudah terpantik oleh Resolusi Jihadnya KH.Hasyim Asy'ari.
Peristiwa itu menyulut kemarahan pucuk pimpinan AFNEI dengan menambah pasukan di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C.Manseregh.
Pada tanggal 9 November 1945, AFNEI mengeluarkan ultimatum yang melecehkan martabat bangsa lndonesia, isi ultimatumnya adalah sbb:1) Pihak AFNEI menuntut balas atas kematian Brigadir Jenderal Mallaby yang menjadi tanggung jawab rakyat Surabaya, 2) Menginstruksikan kepada seluruh pimpinan pemerintahan, para pemuda santri dan TKR untuk melapor, menyerahkan senjata, dan menandatangani pernyataan penyerahan tanpa syarat.
Ultimatum yang ditandatangani Mayor Jenderal Mansergh itu disertai ancaman. Pihak sekutu mengancam akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara jika rakyat Surabaya tidak menjalakan instruksi sampai batas waktu yang ditetapkan, yakni tanggal 10 November 1945 ; pukul 06.00 WlB.
Atasan tertinggi dari Guru Yahya Bin H.Muslim bagaimana pun besarnya khawariqul-adah yang dimilikinya, dilihat dari struktur organisasi Masyumi tidak lain, petingginya adalah KH.Hasyim Asy'ari. Pada tanggal 9 Nopember 1945, jam setengah empat sore. Mbah Hasyim yang baru pulang usai konferensi Masyumi di Yogyakarta sebagai ketua, mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam lnggris.
Mbah Hasyim di Surabaya menyaksikan sendiri bagaimana blokade mau menghancurkan Surabaya, langsung Beliau menjawab dengan fatwa berikut ini:" Pokonya fardhu 'ain bagi semua umat lslam yang berada dalam jarak 94 kilo meter dari kota Surabaya".
Hal inilah, juga yang mempengaruhi Suryo, Gubernur Jawa Timur yang berakibat, melalui siaran radio, ia mengumumkan secara resmi penolakan terhadap ultimatum AFNEI, juga akibat sudah terpantiknya rakyat Surabaya dengan Resolusi jihad sebelumnya, maka rakyat Surabaya sudah siap untuk berperang.
Setelah batas ultimatum AFNEI habis, kontak senjata pertama terjadi di Tanjung Perak yang berlangsung sampai pukul 18.00 WIB.
Itulah perjuangan para santriwan dan pahlawan KH.Hasyim Asy'ari, ulama yang dapat pahla dari Allah SWT karena berjuang dengan ikhlas lillah ta'ala.
(*)
-----------------------------
Penulis Rois Syuriyah MWC NU Cipayung Jakarta Timur
KOMENTAR