RamahNUsantara, Jakarta - Peletak Dasar llmu Tajwid (واضع علم التجويد) sebagai Mabadi Oleh: Drs.Nur Ali Al-Fatawiy A. Muqadimah...
RamahNUsantara, Jakarta - Peletak Dasar llmu Tajwid (واضع علم التجويد) sebagai Mabadi
Oleh:
Drs.Nur Ali Al-Fatawiy
A. Muqadimah
Mabadi atau tulisan Arabnya (مبادي) artinya: permulaan, yakni: permulaan pembahasan llmu Tajwid. Mabadinya dalam pembahasan kali ini adalah Peletak dasar ilmu tajwid yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi:
( واضع علم التجويد ).
Artinya:
Peletak dasar ilmu tajwid.
Masalah llmu Tajwid yang dianut di lndonesia ini tidak terlepas dengan Qira'at Ashim, riwayat Hafash. Berikut dibahas sejarahnya mulai dari qira'ah Rasulullah SAW dan Sahabat, sampai Kepada penulis ilmu tajwid di Jakarta.
B. Qira'ah Rasulullah SAW dan Sahabat
Kalau bicara, kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Quran itu diturunkan kepada Rasulullah SAW . Ini kerana Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk membaca Al-Qur'an dengan tajwid atau tartil seperti yang disebut dalam ayat 4, Qur'an Surah al-Muzzammil:
.....وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
Artinya:
“…..Bacalah al-Qur'an itu dengan tartil (perlahan-lahan).”
Kemudian Baginda Rasulullah SAW terus mengajar ayat-ayat Al-Qur'an tersebut kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil. Sayyidina Ali K.W. apabila ditanya tentang apakah maksud bacaan al-Qur'an secara tartil itu, maka Beliau menjawab adalah membaguskan sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada tempat yang betul.
Walau bagaimana pun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang paling awal ialah bermula adanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmani yang ditulis oleh Sayyidina Utsman itu yang kemudian pada waktunya diletakkan titik-titik, baris-baris untuk setiap huruf dan perkataannya.
Gerakan penguatan itu telah diketuai oleh Abu Aswad Ad-Duwali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Itu terjadi, apabila pada masa itu Khalifah umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Itu semua karena saat di masa Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran dalam tujuh buah itu, dibiarkannya tanpa titik-titik huruf dan baris-barisnya kerana memberi keluasan kepada para sahabat dan tabi’in pada masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacam-macam, baik lahjah Quraisy, Hudzail, Tamim, Asad, Rabi'ah, Hawazin maupun Sa'ad.
Peran Abul Aswad Ad-Duwali dalam masalah tulisan Al-Qur'an ini adalah memberi titik dengan tinta yang berlainan warnanya dibanding warna tulisan Al-Qur'annya, yakni: tanda titik di atas untuk fathah, titk di bawah untuk kasrah, dan titik sebelah kiri atas untuk dhamah. Hal itu terjadi bahkan sampai pada masa Mu'awiyah.
Kemudian di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685 M - 705 M), Nashir bin Ashim yang semula huruf Al-Qur'an tanpa titik, maka diberi titik dengan warna yang sama dengan warna tulisan huruf Al-Quran itu, dan tetap memakai syakal cara Abul Aswad Ad-Duwali.
Lalu oleh Al-Kholil, Syakal yang telah dibuat oleh Abul Aswad Ad-Duwali ini, titik fathah yang ada di atas huruf, untuk mempermudah, maka diganti dengan alif kecil miring, sedangkan titik kasrah yang ada di bawah huruf, diganti dengan ya kecil, dan untuk titik dhumah yang ada di sebelah kiri atas, diganti dengan wawu kecil di atas huruf.
Huruf syin (ش) itu untuk tanda syiddah, kepala cha' kecil (ح) untuk sukun, dan kepala 'ain kecil (ع) untuk hamzah. Kemudian tanda-tanda tersebut dipermudah, dipotong dan ditambah atau dikurangi, sehingga menjadi bentuk syakal seperti yang ada sekarang ini.
Itu semua terjadi akibat berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun pertama dan kedua Hijriyah, bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan Al-Quran.
C. Waadhi' llmi Tajwid
Pada masa awal kurun ke 4 hijriyah itu karangan ilmu Tajwid yang paling awal, bisa dikatakan bahwa tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk Qasidah (puisi) ilmu Tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijrah adalah yang terulung.
Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua ilmu Qira'at dan Tajwid dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu ‘Amr Ad-Dani dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya “Hirzul Amani wa Wajhut Tahani” yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan tokoh-tokoh lain yang sezaman dan yang setelahnya.
Tetapi yang jelas dari karangan-karangan mereka ialah ilmu Tajwid dan ilmu Qira'at, senantiasa bergandengan, ditulis dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya dan penulisan ini juga diajarkan kepada murid-muridnya.
Kemudian lahir pula seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu Tajwid dan Qiraat yaitu Imam (ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan karangan Beliau yang masyhur yaitu: “An-Nasyr”, “Thayyibatun Nasyr” dan “Ad-Durratul Mudhiyyah” yang mengatakan ilmu Qiraat adalah sepuluh sebagai pelengkap bagi apa yang telah dinyatakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya “Hirzul Amani” sebagai Qira'at tujuh.
Imam Al-Jazari juga telah mengarang ilmu Tajwid dalam kitabnya “At-Tamhid” dan puisi Beliau yang lebih terkenal dengan nama “Matn Al-Jazariah”. Imam Al-Jazari telah mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya yang pada masa kemudiannya telah menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu Tajwid dan Qiraat serta bacaan Al-Quran hingga hari ini.
Habib Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Al-'Alawiy seorang Mufti Betawi ini juga telah mengarang llmu Tajwid bernama: 'lqdul Jumaan fii Aadaab Tilaawatil-Qur'an yang telah diulang cetak pada 22 Syawal 1359 H / 23 November 1940 M, dalam kitabnya mengatakan di antaranya:
واضعه (علم التجويد) بالنسبة للتدوين فى الكتب ، هم أئمة التجويد كالداني وغيره
Artinya:
Peletak dasar ilmu tajwid jika dihubungkan dengan karangan-karangan tajwid, (peletak dasarnya) adalah para ulama tajwid, seperti الداني dan lainnya.
--------------------------------
Penulis:
Ro'is Syuriyah MWC NU Cipayung, Jakarta Timur.
KOMENTAR