Rektor UIN Walisongo memberikan cenderamata kepada Kevin Evaans RamahNUsantara, Semarang -- (21/2) pemaparan hasil penelitian...
Rektor UIN Walisongo memberikan cenderamata kepada Kevin Evaans |
RamahNUsantara, Semarang -- (21/2) pemaparan hasil penelitian berjudul “Religious Extremism And Education: Do Schools Make A Difference?” dari Australia-Indonesia Center (AIC) menyatakan bahwa gap antar sekolah mainstream dan network terdapat jarak yang cukup renggang. Ditandai dengan keterbukaan-ketertutupan, integrasi-separasi dengan dalam hal pendidikan, identitas campur-murni dan fokus pada komunalitas-keragaman menunjukkan bahwa berbagai macam varian dari 20 sekolah yang dijadikan obyek penelitian. Penelitian yang melibatkan Monash University, UIN Walisongo Semarang dan UGM Yogyakarta ini memfokuskan di kota Semarang dan daerah Soloraya.
Bertempat di rektorat UIN Walisongo Semarang, tampak Kevin Evans selaku Indonesia Director AIC, para peneliti, akademisi, perwakilan ormas (NU dan Muhammadiyyah), perwakilan kepala sekolah (yang dijadikan obyek penelitian). Hal ini dilatar belakangi bahwa Indonesia menempati rangking 42 dari 163 negara (Global Terrorism Index: 2017). Ini menunjukkan bahwa Indonesia masuk daftar negara yang menjadi perhatian. Penelitian ini tak membedakan latar belakang dari sekolah, akan tetapi berdasar enam indikator yang dibuat. Yaitu, otoritas sekolah, sanksi hukuman, pola perintah, hafalan, infrastruktur dan kebijakan lingkungan, enam ukuran ini akan memetakan sekolah-sekolah tersebut.
Dari pemetaan ini muncul banyak temuan-temuan yang di luar ekspektasi peneliti. Harusnya sekolah moderat mengajarkan nilai-nilai yang toleran disatu sisi masih ada yang mengimlementasikan prinsip-prinsip ketidak beragaman. Banyak rekomendasi dari penelitian ini baik kepada kepada kepala sekolah, madrasah dan kepada negara (pemegang kebijakan) guna mengurangi jarak yang menganga. Termasuk adanya kebebasan berpendapat dan teknologi menjadi faktor yang mengkatalis berbagai perubahan ini.
Pemaparan Penelitian hasi penelitian |
“Semua bentuk identitas orang Indonesia tiba-tiba terbuka, jadi yang dulu fundamentalis, manusia pancasila tapi dengan kebebasan semua sebetulnya sekarang bisa jujur dengan identitasnya,” papar Kevin
Ditemui di ruangannya, Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag selaku pimpinan UIN Walisongo menyatakan bahwa, peran UIN Walisongo sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi moderatisme masih banyak perkerjaan yang harus segera dilakukan. Dalam hal ini, UIN Walisongo sedang menjajaki kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk menyebarkan menguatkan moderasi di sekolah-sekolah.
“Kita akan mengampanyekan secara masif gerakan moderatisme ini, ” tandas Imam Taufiq.
Terdapat dua cara untuk mendekatkan jarak antara kedua belah pihak ini. Dengan cara menguatkan pihak moderat dan memberikan pemahaman yang lebih kepada pihak lain. Usai pemaparan penelitian wartawan menemui wakil ketua PWNU Jateng, Dr. H. Najahan Musyaffa’ menyatakan bahwa semua elemen lembaga dan badan otonom NU harus bergerak. Lembaga Pendidikan Ma’arif harus secara kuat memperhatikan pendidikan yang terkoordinasi dengannya, Lembaga Dakwah dengan penyebaran da’i yang menyejukkan dan berbagai bidang sesuai dengan kapasitasnya.
“Intinya adalah mengisi kekosongan (gap) dengan ajaran yang rahmatal lil alamin, penebar kedamaian dan prinsip pluralitas,” tambah Najahan. [*]
KOMENTAR