Foto: Bhineka RamahNUsantara, Jakarta,- Setiap pagi sebelum memasuki kelas, anak-anak didik kami selalu dibiasakan dengan membaca ka...
Foto: Bhineka |
Ridha itu kerelaan, kesukaan, kecintaan, persetujuan dan kenyamanan. Ada seorang murid saya, tubuhnya mungil, berkacamata, agak pendiam namun pintar, sekarang ia duduk di kelas 3 Ibtidaiyah, yang satu ini, sepanjang saya mengenalnya tidak sekalipun dia tidak menyalami saya saat berpapasan atau bertemu di ruang kelas. Walaupun murid-murid lain juga banyak yang berakhlak seperti ini, namun intensitasnya tidak seperti dia. Yang seperti ini kira-kira salah satu gambaran keridhaan seorang murid terhadap gurunya, maka layak murid seperti ini mendapat keridhaan gurunya dan keberkahan ilmu darinya.
Contoh riil lainnya ada pada diri Ibnu Abbas, ia adalah murid dan penerus keilmuan yang disampaikan oleh Rasulullah, sudah tergambar sejak ia masih kecil. Bahkan Umar bin Al-Khathtab berani mengetengahkannya di hadapan para sahabat senior lainnya saat meminta penjelasan tentang tafsir surat An-Nashr. Apa yang membuat ia bisa melampaui sahabat-sahabat lainnya, tidak lain karena doa dan keridhaan yang diungkapkan Rasulullah SAW terhadapnya. Beliau doakan Ibnu Abbas agar dianugerahi pemahaman yang mendalam akan ilmu agama dan takwil. Hal yang sama juga ada pada diri Abu Hurairah. Ia sosok murid yang tidak pernah tertinggal dari majlis-majlis Rasulullah, yang demikian juga membuatnya kebagian ridha dan doa Rasulullah, yaitu senantiasa dicintai oleh segenap kaum muslim dan muslimat, sampai akhir zaman.
Kalau sekarang banyak kabar murid yang menganiaya, kurang adab dan tidak memuliakan gurunya. Maka itu bukan hanya akan mengikis keridhoan guru, akan tetapi juga keridhaan Allah SWT. Karena ilmu itu cahaya Allah. Orang yang tidak memuliakan penyampai cahaya Allah, sulit baginya mendapatkan sinar kebaikan dan keberkahan. Betapa hebatnya penyair kenamaan Mesir, Syawqi Dhaif, saat dia mengatakan dalam sebuah bait fenomenalnya; "Tegak, sambutlah sang guru, beri penghormatan kepadanya. Karena kedudukannya, hampir menyamai seorang Rasul".
Kisah ini hanya untuk jaga-jaga, pernah ada seorang murid kualat, tapi ini sudah kualat tingkat tinggi. Dia adalah seorang lelaki dari Bani An-Najjar, dia masuk Islam, lalu belajar surat Al-Baqarah dan Ali Imran, karena kepiawaiannya menulis, Rasulullah SAW menunjuknya menjadi salah satu juru tulis wahyu. Akan tetapi kepongahannya membuatnya menjadi murid yang angkuh pada gurunya, Rasulullah SAW. Saat beliau menyuruhnya menulis "Ghafuran Rahiman", yang dia tulis malah "Aliman Hakiman". Saat disuruh menulis "Aliman Hakiman", yang dia tulis jutru "Samian Bashiran". Rasulullah, menegurnya agar menulis seperti yang beliau diktekan kepadanya. Namun dia membantah, dengan mengatakan "aku yang pandai menulis, terserah aku mau menulis apa".
Lelaki itu akhirnya kembali murtad. Ia bergabung dengan kaum musyrikin dari ahli kitab lainnya. Lalu ia berkata, "aku telah meninggalkan Muhammad, dan aku yang paling tahu tentang dia, akulah yang menuliskan untuknya". Betapa kawan-kawannya dari kalangan musyrik membanggakannya, tapi mendadak ia mati, Allah cabut nyawanya tanpa pernah diperkirakan oleh mereka. Kaum musyrik yang sedang mengelukannya terhenyak, mereka pun akhirnya menguburkannya.
Keesokan paginya mereka terkejut, kuburan itu terbongkar, seakan bumi memuntahkannya tanah berhamburan dan jasad lelaki itu ada permukaan tanah. Mereka lalu menuduh Nabi dan para sahabatnya yang telah membongkar kuburan itu, lantaran kesal pembelotan lelaki tersebut. Untuk itu mereka menguburkannya lagi dengan cara menggali lebih dalam dan betul-betul memadatkan tanahnya, agar tidak ada yang membongkarnya lagi. Tapi kenyataan berkata lain, keesokan paginya jasadnya kembali terbujur di permukaan tanah, dan tanah kuburan berhamburan terbongkar.
Mereka pun tersadar bahwa bukan manusia yang membongkarnya, tapi bumilah yang tidak mau menerima jasadnya. Bumi memuntahkannya, ia kualat terhadap gurunya, ia menentang dan merendahkan gurunya, Rasulullah SAW. Akhirnya kaum musyrikin membiarkan jasadnya seperti apa adanya dan tidak lagi menguburkannya. Kisah ini terekam dalam periwayatan imam Ahmad, imam Muslim, dan imam Al-Bukhari. Menurut Anas bin Malik, bahwasannya Abu Thalhah menyaksikan sendiri TKP peristiwa ini. Semoga kita senantiasa mengambil pelajaran. Wallahu a'lam (*slh)
From: Ustad Abdi Pemi (A.P.K. 18.02.18)
KOMENTAR