Gaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau perilaku) makhluk karena (terhalang oleh) kesibu...
Gaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau perilaku) makhluk karena (terhalang oleh) kesibukan rasa dengan “sesuatu yang datang” (warid, kehadiran rasa alam spiritual) kepadanya. Kemudian, keberadaan rasa terhadap diri dan lainnya menjadi ghaibah (gaib atau hilang) sebab kehadiran warisitu yang berwujud dalam bentuk kesadaran akan ingatan pahala dan siksa.
Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu
Mas’ud r.a. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat
sepotong besi yang dibakar di tungku ubupan besi dalam keadaan merah
membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan seketika.
Setelah siuman, Rabi’ ditanya, lalu menjawab, “Sayua ingat keadaan
penduduk neraka (yang sedang dibakar)di neraka”.
Sebuah
kejadian yang sangat aneh pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang
ditempatinya terbakar saat dia menjalankan salat, dan dia tidak
bergeming sedikitpun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke
tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para tetangganya
heran, lalu menanyakan keadaannya”. Api yang amat besar sangat
menggelisahkanku dari pada api ini” jawabnya.
Terkadang
kondisi ghaibah disebabkan ileh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya
dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut perbedaan
ahwal-nya
Keadaan(hal) yang mengawali Abu Hafsh
An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya
dimulai dari peristiwa pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dia dengar
dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya
lupa tentang “rasa “ saat suatu warid dating menguasai jiwanya. Kemudian
tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas
yang sedang membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya
melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu
Hafsh sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia
banggun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.
Saya
pernah mendengar Abu Nasher, seorang muazin Naisabur yang sangat saleh,
menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah baca Al-Qur’an di
majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di Naisabur. Beliau banyak
mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat mempengaruhi hati sya. Pada
tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah utuk melaksanakan ibadah haji
dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali
sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada
tahun itu pula. Ketika beliau masih tinggal di Naisabur sayalah yang
melayani keperluan beliau juga membacakan Al-Quran di majelisnya. Suatu
hari saya melihat beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa
(meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan
mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya.
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan
ini”, sambutnya sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama,
seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali.”Saya baru melihatmu,
siapakah Anda?”.
Subhanallah!Permohonan bantuan memang
hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan
meninggalkan rumah dan harta bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang
sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan , saya baru
melihatmu…!”
Adapun Hadhur adalah keberadaan “hadir”
bersama Al-Haqq karena jka seseorang mengalami ghaibah (gaib) dari
keberadaan semua makhluk, maka dia “hadir” (hadhur) bersama Al-Haqq.
Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan
Al-Haqq (zikir) pada hatinya. Dia hadir dengan hatinya dihadapan
Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah-annya dari keberadaan makhluk
menjadikannya hadhur(hadir) bersama Al-Haqq. Jika semua yang ada ini
pada sirna, maka keberadaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya.
Jika dikatakan “fulan hadir”, artinya dia hadir dengan hatinya ke
haribaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam
ke-hadhur-annya segalanya menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan
curahan sejumlah makna( pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan
ketuhanan) yang dikhususkan Allah untuknya.
Terkadang
dikatakan (bahwa keberadaan hadhur) dikarenakan kembalinya Salik pada
rasanya dengan ahwal jiwanya, dan ahwal kemakhlukan yang kembali (kepada
Tuhannya)dari alam ghaibah-nya. Yang pertama hadhur denganAl-Haqq, dan
yang kedua hadhur dengan makhluk. Ahwal manusia dalam maqam ghaibah
berbeda-beda. Sebagian mengalaminyatidak terlalu lama, sebagian lagi
dalam masa yang abadi (sampai mati).
Dikisahkan bahwa
DzunNun Al-Mishri, seorang guru sufi besar, pernah mengutus seseorang
dari pengikutnya dating ke rumah Abu Yazid Al-Busthami untuk mempelajari
sifat-sifatnya. Setibanya di kota Bustham, utusan ini bertanya pada
seseorang tentang rumah Abu Yazid, kemudian pergi menuju tempat yang
ditunjuk dan bertamu kerumahnya. Di sana terjadi dialog teologis yang
sangat menawan.
“Apa yang kamu kehendaki?” Tanya Abu Yazid
“Tuan Abu Yazid.”
Siapakah Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Saya sendiri dalam pencarian Abu Yazid?”
Utusan
ini keluar seraya berteriak, “Dia Gila!” Kemudian dia kembali ke rumah
gurunya, Dzun Nun dan melaporkan semua yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun
Nun menangis, “Saudaraku. Abu Yazid telah pergi bersamaorang-orang yang
pergi menuju Allah.”
KOMENTAR