Foto: Facebook RamahNUsantara, Jakarta - Dulu, untuk bisa bisa belajar agama khususnya ngaji al-Quran kita harus berangkat ke majlis t...
Foto: Facebook |
RamahNUsantara, Jakarta - Dulu, untuk bisa bisa belajar agama khususnya ngaji al-Quran kita harus berangkat ke majlis taklim. Dengan sabar menunggu dan berkumpul di satu majlis, para ustadz atau kiai dengan telaten mengajar tafsir al-Quran.
Tapi ternyata zaman telah berubah. Bahkan kalau boleh dikata 380 derajat. Karena saat ini, justru para ahli agamalah yang mendatangi kita.
Para murid dan orang awam agama seperti kita justru bertindak layaknya guru. Yakni dengan washilah smartphone dan media sosial atau Medsos yang kita miliki, para kiai, ulama dan ahli agama dengan berbagai keahlian yang hadir.
Para murid dan orang awam agama seperti kita justru bertindak layaknya guru. Yakni dengan washilah smartphone dan media sosial atau Medsos yang kita miliki, para kiai, ulama dan ahli agama dengan berbagai keahlian yang hadir.
Kelebihan mengaji model saat ini, kita dapat memperoleh tambahan ilmu agama kala terjebak macet, saat menunggu bus dan angkutan umum di terminal. Atau tengah sabar menanti kereta api hingga menunggu panggilan boarding pesawat.
Ketika menunggu antrian di bank serta layanan publik, atau menunggu sahabat, tidak ada salahnya “menghadirkan” ustadz dan para kiai sebagai teman.
Bahkan tidak jarang kala hendak tertidur sekalipun, tokoh agama ini menemani rehat.
Ketika menunggu antrian di bank serta layanan publik, atau menunggu sahabat, tidak ada salahnya “menghadirkan” ustadz dan para kiai sebagai teman.
Bahkan tidak jarang kala hendak tertidur sekalipun, tokoh agama ini menemani rehat.
Sejumlah aplikasi pun dihadirkan untuk ngaji al-Quran via telepon canggih tersebut. Entah ada yang mengakrabi medsos berupa instagram, facebook, twitter, whatsapp, telegram, juga video pendek maupun panjang via youtube.
Sekali lagi, ini tentu sangat menggembirakan lantaran bisa ngaji di mana dan dengan media apa saja.
Walau demikian, efef negatifnya pasti ada. Umat tidak lagi dapat menfilter mana yang beneran ustadz, atau ustadz “jadi-jadian”. Karena di era seperti ini, semua bisa menjadi ustadz.
Kualifikasi dan hierarki keilmuan menjadi runtuh. Walhasil, Medsos juga dipakai sebagai alat penyebaran kajian keislaman yang tidak ramah, isinya marah-marah, dan parahnya lagi tidak jelas mana yang asli, dan mana kabar hoax.
Saduran (pertama) buku “Tafsir al-Quran di Medsos” karya Prof H Nadirsyah Hosen, PhD
Penulis:
Syaifullah Ibnu Nawawi
Syaifullah Ibnu Nawawi
KOMENTAR