Foto: Ilustrasi (HSN 22/10/17) di Jakarta RamahNUsantara, Kebumen - "Semua Akan Santri Pada Waktunya" Oleh Aswab Mahasin...
Foto: Ilustrasi (HSN 22/10/17) di Jakarta |
RamahNUsantara, Kebumen - "Semua Akan Santri Pada Waktunya"
Oleh Aswab Mahasin
Awalnya penetapan hari santri tanggal 22 Oktober tidak sedikit menyulut pro-kontra di kalangan masyarakat, alasannya adalah dikhawatirkan mengkotak-kotakan ummat Islam Indonesia. Selain itu, penetapan hari santri juga terkesan keputusan politik pemerintah dalam rangka memenuhi janji kampanye Jokowi. Apakah demikian?
Hari santri mulai ditetapkan tahun 2015 dan sekarang hiruk-pikuk perselisihan hari santri sudah tidak lagi mengemuka. Hal yang wajar dan merupakan sebuah kewajiban di alam Indonesia ini,di mana santri merupakan bagian terpenting dalam perjuangan kemerdekaan dan menyumbangkan banyak pemikiran dan model keislaman Indonesia yang damai dan santun, tidak berlebihan jika Indonesia mempunyai hari santri setiap tahunnya. Setidaknya sebagai pengingat-ngingat kita semua, tentang sejarah, tentang ulama/kiai, tentang pesantren, tentang santri, dan sebagainya.
Kalau dianggap hari santri sebagai ‘bingkisan’ politik dari kampanye Jokowi, bagi saya merupakan nilai plus dalam suasana tradisi politik Indonesia—i'tikad baik merealisasikan janji kampanye harus diapresiasi. Asalkan itu positif, dan hari santri adalah positif.
Jika dikatakanhari santri akan menyempitkan makna santri—hanya dari kalangan Nadlatul Ulama saja, sepertinya tidak juga. Hari santri memang inisiatif yang dimunculkan oleh NU. Namun, hari santri sudah menjadi hari nasional, dan semua orang yang merasa dirinya santri berhak ikut merayakan hari santri. Sama sekali tidak ada yang termarginalkan dalam hari santri ini. Kalau masih ada yang merasa terpinggirkan, itu hanya perasaan mereka saja. Mari kita nikmati bersama.
Ada juga ungkapan menyatakan,‘hari santri bisa menyempitkan makna, yakni perjuangan kemerdekaan diupayakan kalangan santri’. Bagi saya, ungakapan itu sama sekali tidak “presisi”. Indonesia banyak memiliki hari, hari kartini, hari pahlawan, hari kesaktian pancasila, dan hari-hari lainnya.
Tidak bisa juga menarik makna, hari kartini akan menimbualkan kesan bahwa perjuangan kemerdekaan hanya diupayakan oleh Kartini. Tidak begitu bukan? Begitupun dengan hari santri. Kemerdekaan bangsa ini diperjuangkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, dan salah satunya adalah kaum santri.
Itulah beberapa nada miring yang muncul ketika hari santri ditetapkan. Di Indonesia ini pro-kontra bukan perkara aneh. Tinggal bagaimana kita menjawab pro-kontra itu menjadi sebuah kepantasan di masa yang akan datang. Santri dengan ‘embel-embel’ sejarahnya laik memiliki tanda hari.
Tanggal 22 Oktober setiap tahunnya diperingati sebagai hari santri, ini merujuk pada perjuangan ulama dan santri dalam perjuangan jihad kemerdekaan yang ditandai dengan ‘resolusi jihad’ 22 Oktober 1945. Resolusi itu membakar jiwa nasionalisme santri untuk melawan diskriminasi terhadap Indonesia, dan akhirnya perjuangan meletus pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang sekarang dijadikan sebagai hari pahlawan.
Kebelakang lebih jauh, sebelum NU berdiri 1926, jauh sebelum itu perjuangan yang mengatasnamakan diri sebagai kaum santri sudah meletup. Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), dan perang Aceh (1875-1903). Dalam buku Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari yang ditulis oleh Drs. Lathiful Khuluq, M.A. “Perang-perang tersebut merupakan perlawanan bersenjata kaum santri melawan imperialis Belanda yang berakhir dengan pencaplokan wilayah-wilayah tersebut ke dalam kontrol Belanda dan konsolidasi kekuasaannya terhadap wilayah Nusantara. Peperangan-peperangan ini telah menguras kekayaan Belanda, sehingga mereka melaksanakan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) untuk menanggulangi kerugian.
Kebijakan yang dimulai 1830 ini memperkaya Belanda, memiskinkan pribumi, dan berpihak pada kelompok minoritas Arab dan Cina. Namun, dari tanam paksa ini munculnya kesadaran sebagian birokrat Belanda terhadap “utang budi” kepada bumi pertiwi, terlahir istilah politik etis. Belanda memfasilitasi pendidikan untuk pribumi. Namun, akses pendidikan ini hanya bisa dijangkau oleh mereka para priyayi, sedangkan masyarakat bawah sama sekali tidak menerima pendidikan. Dan Pesantren sebagai lembaga pendidikan “merakyat” menampung semua lapisan masyarakat untuk belajar. Singkat certita, dari sinilah terjadi pembatas antara elit priyayi, elit abangan, dan elit santri. Melahirkan dualisme sistem pendidikan. (Drs. Lathiful Khuluq, M.A. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, 2000. hlm. 3)
Dengan demikian, pesantren harus tetap menjadi alat perlawanan politik/budaya diskriminatif—sebagai penyeimbang kondisi zaman yang susah dikontrol. Karena pendidikan di pesantren tetap berbeda dengan pendidikan pada umumnya (sekolah formal). Pendidikan sekolah hanya mengutamakan kognitif (pengetahuan semata) tidak memperdulikan kualitas moral siswanya, pemabok, penjudi, suka tawuran, suka pakai narkoba, dan sebagainya di ruang lingkup sekolah/kampus tetap bisa “lulus” yang penting mereka hadir di ruang kelas (model pendidikan ini terdapat pemisahan antara pengetahuan dan agama), walaupun pelajaran agama tetap ada. Namun, bukan pengaruh besar dalam membina akhlak (karena hanya 2 jam dalam seminggu). Berbeda sistem pendidikan di pesantren, ada keseimbangan antara pengetahuan dan agama.
Menurut KH. Hasyim Asy’ari meyakini bahwa dalam meluruskan karakter dan mendidik akhlak melalui pendidikan budi pekerti adalah sebuah keniscayaan. Bahkan lebih lanjut dijelaskan oprasional pendidikan pada hakikatnya adalah proses saling mempengaruhi antara fitrah dan lingkungan.
Berarti, peran pendidikan di samping berfungsi dalam pengembangan kreativitas dan produktivitas. Juga berperan besar dalam usaha memupuk moralitas dan nilai-nilai—nilai-nilai insani dan nilai-nilai Ilahi. Maka dari itu, pesantren menjadi penting, para santri dan pesantren lah yang menjadi pondasi bangsa ini. Dengan jumlah pesantren 26.000 lebih dan jumlah santri 80 juta lebih (sesuai dengan warga NU, karena NU rumah besar santri), tentu diharapkan akan menjadi pembeda dan penentu dari kemajuan Indonesia di akan datang.
Kembali ke hari santri, inilah momentum yang harus digiatkan oleh seluruh santri agar selalu istiqomah dalam mebela negeri, dari segi politik, sosial, budaya, hukum, agama, dan sebagainya. Harus dibuktikan oleh kaum santri, bahwa hadiah hari santri bukan hanya merujuk pada kepantasan sejarah semata, melainkan pembuktian untuk kepantasan sekarang dan yang akan datang.
Dan perlu diingat, kita semua adalah santri, siapapun diantara kita yang pernah mondok atau belum pernah mondok adalah santri. Dalam definisi pendeknya santri adalah orang yang belajar agama dan mendengar petuah kiai, dan kita semua orang Islam pernah merasakan hal itu, jadi kita semua adalah santri, dan akan menjadi santri pada waktunya.
Seperti fenomena lucu, setiap kampanye Presiden, Caleg, Kepala Daerah hampir semua calon meminta restu kiai, dan memasang fotonya besar-besar sedang mencium tangan kiai dan mereka mengaku mendapatkan restu dari sang kiai (hanya ingin menunjukan bahwa ia adalah santri). Begitupun dengan foto Gus Dur dan nama Gus Dur selalu dicatut dalam kompetisi politik Indonesia. Semua akan santri pada waktunya, entah itu mengaku-ngaku santri, atau merasa dirinya santri sungguhan.
Menurut Clifford Geertz, dalam bukunya The Religion of Java (1960), menuliskan, “Istilah santri mempunyai dua arti; pertama, santri adalah murid-murid pesantren, kedua, santri memiliki arti lebih luas mencakup seluruh kaum muslimin yang ta’at baik tradisional maupun modernis. Arti kedua ini bisa dikontraskan dengan istilah abangan yang mengacu pada orang-orang Islam yang tidak menjalankan ajaran Islam dengan sempurna atau yang masih mempercayai ajaran-ajaran non-Islam.
Melihat istilah Clifford Geertz tersebut, berarti telah jelas, seluruh umat Muslim di Indonesia adalah santri, santri yang mesantren, santri kalong, dan santri medsos adalah santri. Sebagai santri sejatinya harus mengingat-ngingat bagaimana model Islam yang berkembang di bumi Nusantara ini, damai, tentram, aman, nyaman dan kita sebagai santri sekarang harus terus menyemarakan perdamaian.
Mengawal bangsa Indonesia sekarang, para santri harus melakukannya dari berbagai sisi. Sisi ekonomi, santri harus pintar-pintar dalam berwirausaha, dan membantu sesamanya (bersedakah, zakat) sebagai distribusi kekayaan untuk mengurai kemiskinan. Sisi sosial, merajut kembali solidaritas, toleransi, dan pemahaman multikulturalisme agar kita semua bisa hidup berdampingan secara damai.
Sisi politik, menjadi politisi praktis atau sebagai rakyat subjek dan objek politik harus mengedepankan politik rahmatan lil ‘alamin, tidak menghalalkan segala cara untuk membela kekuasaan dan partainya, karena menurut Gus Dur, “Tidak ada jabatan (kekuasaan) yang harus dipertahankan mati-matian”.
Sisi budaya, mengedepankan kekuatan nalar, dan menghormati suku dan budaya lain, sebagai strategi untuk terus menjaga keutuhan bangsa. Sisi hukum, mentaati aturan yang telah disepakati, aturan hukum negara ataupun aturan di lingkungan kita sendiri, dengan tujuan mengurai kebiasaan meremehkan hukum. Dan dari sisi keagamaan, meminimalisir gesekan antar golongan atau agama, meminimalisir konflik, dan menebarkan perdamaian, berdakwah secara bijaksana, dan berlaku baik dengan siapapun.
Sisi-sisi itulah yang harus dibangun dan terus dirajut oleh santri, di era ruwet ini santri akan menjadi solusi terbarukan. Saya yakin, ada kemampuan dari kita semua untuk mengurai benang kusut yang sedang melanda bangsa kita. Minimal yang kita upayakan adalah Indonesia aman dari ancaman disintegrasi.
Dari mulai hal terkecil saja dulu, memberikan kedamaian terhadap lingkungan tempat tinggal kita, tidak menutup kemungkinan akan merambat ke tinggkat yang lebih besar. Apalagi santri ada disetiap sudut bahkan mungkin pojokan Indonesia, di tempat terpencil pun pasti ada santri. Menebarkan gizi damai santri, santun santri, mandiri santri, dan gaya hidup santri akan menjadikan Indonesia lebih aman. Pada ujungnya “kita akan santri pada waktunya”.
Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
KOMENTAR