Foto: Malam HSN di Semarang (21/10/17) RamahNUsantara, Semarang - Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo beberapa waktu yang lalu meng...
Foto: Malam HSN di Semarang (21/10/17) |
RamahNUsantara, Semarang - Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo beberapa waktu yang lalu mengungkapkan,"Seharusnya serangan dilakukan pada 9 November 1945, tapi KH Hasyim Asy'ari meminta semuanya menunggu kedatangan dua Singa dari Cirebon- Jawa Barat, yakni KH. Abas Buntet dan KH. Amien sepuh Babakan Ciwaringin Cirebon, tutur pria kelahiran 1960 ini. Dari cerita ini tentu bisa dilihat, jasa kaum santri dan kyai dalam perjuangan kemerdekaan sangatlah besar.
Sebagai Panglima TNI, saya ingatkan, yang membunuh Brigadir Jenderal Mallaby bukan TNI. Yang membunuh (Mallaby) itu santri. Yang menurunkan bendera (Belanda) di Hotel Orange juga santri, bukan TNI,"
Ujar mantan kepala staf TNI Angkatan Darat (KSAD) itu (republika.co.id)
Pernyataan Panglima TNI tersebut didasari dan diperjelas oleh Pengurus Nahdlotul Ulama' Ranting Balerante ;
Diceritakan disebuah majelis, Almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa Perlawanan Rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”
Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kyai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, Mengapa tidak diizinkan? ternyata KH. Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga Langit Surabaya, Beliau Adalah KH. ABBAS ABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.” majalahlangitan.com (11/3/2015)
Lalu bagaimana riwayat dan kiprah Kepesantrenan dan Kebangsaan kedua kekasih Alloh dari Cirebon tersebut?
1. KH. Amien Sepuh Babakan
Kyai Haji Amin bin Irsyad, lahir di Mijahan, Plumbon, Cirebon pada Jum’at 24 Dzulhijjah 1330 H/ 1879 M. Wafat pada 20 Mei 1972/16 Rabi’ul Akhir 1392H.
Dari catatan silsilah nasab, Kyai Amin masih merupakan keturunan dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Dengan demikian, jalur nasab Kyai Amin jelas tersambung sebagai Ahlul Bayt.
@ santri kelana
Sejak kecil, Amin bin Irsyad sudah menunjukkan bakat sebagai santri kelana. Beliau tekun mengaji kepada ayahandanya dalam ilmu-ilmu agama dan kanuragan. Pada waktu itu, ilmu kanuragan menjadi bagian penting dalam bela diri kaum santri, menghadapi jagoan-jagoan lokal dan berjuang melawan penjajah. Selepas mengaji kepada ayahanda, Amin kecil dipondokkan di pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, bimbingan Kyai Nasuha. Kemudian, Amin kecil mengaji kepada Kyai Hasan di pesantren Jatisari, Cirebon.
Rupanya, jiwa kelana Amin kecil menjadi penuntun pencarian ilmunya. Ia mengaji ke beberapa pesantren, yakni di Pesantren Kaliwungu Kendal, Pesantren Mangkang Semarang, hingga mengaji di pesantren kawasan Tegal, asuhan Kyai Ubaidillah. Selepas suntuk mengaji di Jawa Barat dan Jawa Tengah, Amin bin Irsyad melanjutkan petualangan keilmuan (rihlah ilmiyyah) menuju kawasan Jawa Timur. Ia mengaji kepada ulama tersohor pada zamannya, yakni Syaikhona Cholil di Bangkalan, Madura. Amin muda juga mengaji kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Jombang, selepas merampungkan ngaji di Pesantren Bangkalan. Di Tebu Ireng, Amin muda mengabdi kepada Kyai Hasyim, yang sama-sama belajar di bawah bimbingan Syaichona Cholil.
Petualangan mencari ilmu di Tanah Jawa, tidak membuat Amin muda merasa puas. Ia mengelana hingga ke tanah Hijaz. Di Makkah, Amin muda mengaji kepada Syaikh Mahfudh at-Tirmasi, ulama Nusantara yang terkenal di Tanah Hijaz yang berasal dari Termas, Pacitas, Jawa Timur. Di Makkah, Amin muda mendapatkan kesempatan untuk membantu Syaikh Mahfudh mengajar para santri, yakni mukimin yang berasal dari Nusantara.
@ Mengabdi di Tanah Cirebon ...
Ketika ayahanda Kyai Amin masih hidup, pernah berwasiat agar putranya mengaji dan mengabdi kepada Kyai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Sekembali dari Makkah, Kyai Amin kemudian menepati wasiat ayahandanya, dengan mengabdi kepada Kyai Ismail. Di pesantren Babakan, Amin muda dijuluki Santri Pinter, karena keluasan ilmu dan khazanah pesantren yang dikuasainya. Pengalaman bertahun-tahun mengaji di beberapa pesantren di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta tanah Hijaz menjadi pengalaman berharga yang membentuk pribadi serta kedalaman pengetahuan Kyai Amin.
Kyai Amin bin Irsyad kemudian dijuluki sebagai Kyai Amin Sepuh, karena jalur silsilah keluarganya yang tersambung hingga ke KYAI JATIRA atau Syeikh Hasanuddin dari Mijahan, yang mendirikan pesantren Babakan pada masa awal.
@ Kyai pejuang...
Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya, Kyai Amin menggelar rapat dengan kyai-kyai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan ini diselenggarakan di kawasan Mijahan, Plumbon, Cirebon. Di antaranya kyai-kyai yang hadir, yakni Kyai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH. Anshory Plered, Kiai Fathoni dan beberapa ulama lain.
Pada pertemuan ini, dibahas beberapa point penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan santri pada masa awal kemerdekaan.
Pertemuan ini, berhasil membuat kesepakatan di antaranya majelis Kyai ; bahwa pesantren harus terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Selepas pertemuan ini, ditindaklanjuti dengan pengiriman laskar santri ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23. Pasukan NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jendral AWS Mallaby
Kyai Amin berangkat ke Surabaya bersama Kyai Abbas Buntet (1879-1946), Kyai Bisri Musthofa (1914-1977), Kyai Wahab Chasbullah (1888-1971), Kyai Bisri Syansuri (1886-1980) dan beberapa kyai lain, untuk membantu para santri melawan penjajah. Semangat berkobar dari para Kyai, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Kyai Amin sepuh mengobarkan semangat juang kepada santri-santrinya. Beliau menjadi barisan Kyai, yang mendukung perlawanan kaum santri dan pemuda pada 10 Nopember 1945 di Surabaya.
Ilmu kanuragan yang dimiliki para Kyai digabung dengan keahlian bela diri, strategi perang, dan semangat juang santri menjadi modal utama para pemuda melawan penjajah Belanda pada masa awal kemerdekaan.
Kyai Amin menjadi pejuang yang menggerakkan santri membela bangsa Indonesia melawan penjajah. Beliau terjun langsung untuk mengonsolidasi jaringan santri melawan penjajah di barisan depan.
Konon dalam perang di Surabaya itu beliau tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur. Bahkan, dikabarkan tetap bugar meskipun dilempari bom sebanyak 8 kali. Dan dari cerita para Kyai, disebutkan bahwa ; yang membunuh Brigadir Jendral AWS Malabby adalah santrinya KH. Amien Sepuh Babakan, sebagaimana yang disinggung secara umum oleh Panglima TNI Jend. Gatot Nurmantyo di atas.
Kiprah dan semangat juang Kyai Amin Sepuh bersama para santrinya saat itu, berakibat Pesantren Babakan diserang Belanda, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, pada 1952. Bangunan Pesantren Babakan dibumi hanguskan oleh pasukan Belanda, hingga naskah-naskah penting dan kitab-kitab dibakar. Pada masa itu, perjuangan fisik untuk melawan penjajah Belanda masih dalam situasi mencekam. Baru pada 2 tahun kemudian, pada 1954, Kyai Sanusi—murid Kyai Amin Sepuh—kembali dari pengungsian. Kyai Sanusi mulai menata kembali bangunan pondok yang terbakar dan hancur berantakan. Pada 1955, setelah situasi kondusif, Kyai Amin Sepuh kembali ke pesantren Babakan tepatnya Pondok Gede Babakan saat itu yang sepeninggalnya bernama Pondok Pesantren Roudlatut tholibin Babakan.
Di bawah bimbingan Kyai Haji Amin Sepuh, Pesantren Babakan menjadi rujukan para santri untuk belajar khazanah pengetahuan Islam. Santri-santri yang mengaji dan tabarrukan dengan Kyai Amin memenuhi pesantren, hingga dikenal sebagai salah satu pesantren besar di Jawa Barat. Beberapa santri Kyai Haji Amin sepuh juga menjadi pengasuh pesantren di daerah masing-masing, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun (Jakarta), KH. Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), Dan beberapa Kyai lainnya. Sementara di Babakan sendiri muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Abdul Hannan, KH. Sanusi, KH. Makhtum Hannan, KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas dan KH Syarif Hud Yahya.
Kyai Haji Amin sepuh menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan ulama pesantren dalam mengawal NKRI. Kyai Haji Amin sepuh juga menjadi khazanah Islam Nusantara, yang menautkan jejaring keilmuan antar pesantren, dari kawasan Nusantara hingga Hijaz di Timur Tengah. Sudah selayaknya, perjuangan Kyai Haji Amin sepuh dan para kyai lainnya dalam membela bangsa dari penjajahan, mendapatkan pengakuan dalam narasi sejarah negeri ini.
2. Kyai Haji Abbas Abdul Jamil, Buntet- Cirebon
Tokoh sentral NU yang dikenal sakti adalah Kyai Abbas Buntet. Pengasuh Pondok Pesantren Buntet-Cirebon itu, selain mengajarkan kitab kuning juga mengobarkan semangat perjuangan mengusir penjajah Belanda.
Kyai Abbas adalah putra sulung Kyai Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 25 Oktober 1800 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan Kyai Abdul Jamil adalah putra dari Kyai Mutaad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.
Pada dasarnya Kyai Abbas adalah keturunan ulama. Karena itu pertama ia belajar pada ayahnya sendiri, Kyai Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama, baru pindah ke Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah pimpinan Kyai Nasuha. Setelah itu dia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari di bawah pimpinan Kyai Hasan.
Setelah itu keluar daerah, yakni ke sebuah pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, selanjutnya ia pindah ke pesantren yang sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang kemudian menjadi pendiri NU.
Dia juga belajar ke Mekkah dan kembali bersama-sama dengan Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Abdillah Surabaya dan Kiai Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kyai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukimin (orang-orang Indonesia yang tinggal di Mekkah).
Bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kyai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet.
Ketika mengaji Kyai Abbas hanya beralaskan tikar. Namun demikian santri yang datang berjubel di langgarnya. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Ada yang datang dari daerah sekitar Jawa Barat, Jawa Tengah bahkan juga ada yang dari Jawa Timur. Mereka bukan santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan inilah masyarakat yang hendak belajar ilmu kesaktian pada sang guru.
Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning juga dikenal dengan tradisi ilmu kanuragan atau ilmu bela diri. Keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu kanuragan menjadi sebuah keharusan.
Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan. Kyai Abbas mulai merintis perlawanan dengan mengajarkan berbagai ilmu kesaktian pada masyarakat.
Dengan mengajarkan ilmu kanuragan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuanagan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah.
اللهم اغفرلهم وارحمهم وعافهم واعف عنهم...
Wallohu a'lam...
Dikirim
Santri Girikusuma Mranggen Demak.
KOMENTAR