Foto: Istimewa RamahNUsantara, Bekasi - Agama Sosial dan Agama Personal Oleh: Gus Ulil Abshar Abdalla DALAM sejarah agama sejak du...
Foto: Istimewa |
Oleh: Gus Ulil Abshar Abdalla
DALAM sejarah agama sejak dulu hingga sekarang, akan kita jumpai dua model agama ini: agama sosial dan agama personal. Keduanya, jika diletakkan secara proporsional, mempunyai arti pentingnya masing-masing. Semua umat beragama membutuhkan dua jenis agama ini.
Agama sosial adalah jenis keagamaan yang tampak secara nyata dalam kehidupan sosial. Manifestasi agama sosial ini banyak. Manifestasi yang paling awal dan penting adalah terbentuknya apa yang dalam konteks Islam disebut umat atau "community of believers". Inilah bentuk agama sosial yang paling penting.
Manifestasi agama sosial yang lain: masjid, gereja, ormas keagamaan, partai dengan basis ideologi keagamaan, bank syariah (dalam konteks Islam), sekolah-sekolah agama, dan perkumpulan-perkumpulan sosial lain yang diilhami oleh agama.
Fungsi agama sosial yang paling penting adalah membangun apa yang dalam sosiologi modern disebut dengan solidaritas atau kohesi sosial. Agama sosial menyumbangkan kontribusi penting dalam melahirkan ikatan-ikatan sosial yang kokoh. Pengorganisasian masyarakat yang mempunyai umur panjang biasanya berkaitan dengan adanya perasaan keseimanan yang mangikat (sense of religious belonging). Sebab perasaan semacam ini mempunyai pengaruh psikis yang mendalam pada diri manusia.
Tetapi justru dari itulah bahaya agama sosial muncul. Karena fungsi agama semacam ini adalah untuk membangun ikatan, maka eksesnya bisa (saya katakan bisa, bukan mesti dan niscaya) membentuk perasaan "in-group" melawan "out-group". Jika perasaan semacam ini mengalami proses pendalaman yang akut karena, misalnya, mobilisasi sentimen politik, ia bisa berakibat fatal: yaitu lahirnya politik identitas berdasarkan sentimen keagamaan yang "polarizing" dan kadang destruktif.
Salah satu isu sentral dunia paca-komunisme saat ini adalah bangkitnya sentimen primordial berdasarkan identitas partikular, seperti agama (tentu di sini maksudnya adalah agama sosial). Sentimen ini bangkit kembali sebagai "filler" atau pengisi kekosongan sosial yang diakibatkan oleh merosot dan matinya politik kelas yang menjadi ciri ideologi kiri dulu.
Tetapi dengan seluruh ekses yang mungkin bisa lahir, agama sosial jelas tak bisa dihindarkan. Kebutuhan "social bonding", "social belonging", menjadi bagian dari ikatan sosial adalah kebutuhan psikis yang secara fitrah ada pada semua manusia. Agama sosial lahir karena adanya kebutuhan fitriah semacam ini.
DI seberang agama sosial, kita menjumpai jenis agama lain, yaitu agama personal. Yaitu ekspresi keagamaan yang dipunyai oleh masing-masing individu. Setiap orang beriman tentu mengembangkan corak keimanan yang spesifik dan pas buat dirinya. Agama, dalam seluruh sejarahnya, selalu mengenal corak ekspresi yang personal, yang "customized" berdasarkan kebutuhan perorangan. Ini kecenderungan yang juga tak terhindarkan.
Setiap individu memiliki pengalaman personal yang berbeda, dan karena itu relijiusitas masing-masing orang jelas berbeda. Agama personal ini tak tampak di ruang umum; ia merupakan sejenis "percakapan personal" antara hamba dan Sang Khalik. Agama personal sifatnya lebih batiniah, esoterik. Sementara agama sosial lebih lahiriah, eksoterik.
Setiap orang yang beragama akan mengembangkan dua corak keberagamaan ini -- agama sosial dan agama personal. Agama sosial lahir karena kebutuhan natural pada setiap manusia untuk menjadi bagian dari ikatan sosial yang lebih besar agar tak mengalami sakitnya rasa alienasi sosial. Sementara agama personal lahir karena kebutuhan yang intrinsik pada setiap manusia untuk melakukan "munajat" atau komunikasi personal dengan Tuhan Sang Khalik.
Agama sosial dan agama personal bisa mempunyai dua kemungkinan relasi: relasi ko-eksistensi damai dan relasi konflik. Umumnya, hubungan antara keduanya belangsung dengan damai. Umumnya agama sosial dan agama personal saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Tetapi ada juga momen-momen tertentu di mana keduanya bisa saling menafikan, bahkan berperang. Dalam situasi seperti ini biasanya agama sosial mencoba memberangus agama personal karena dianggap telah menyimpang jauh dari "pakem resmi". Contoh yang paling baik dari agama sosial yang berkonflik dan akhirnya memberangus agama personal adalah peristiwa pembunuhan Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar.
Orang-orang yang memiliki agama personal dengan versi yang berbeda secara diametral dengan agama sosial biasanya memilih jalan diam jika tak mau menanggung resiko sosial-politik yang fatal seperti dialami oleh Al-Hallaj. Sebab, jika dia mendeklarasikan agama personal itu secara mencolok ke tengah publik, orang bersangkutan bisa mengalami proses "pendisiplinan" oleh "aparat" agama sosial.
Saya ingin mengatakan: bahwa kita butuh dua jenis agama ini. Agama sosial kita butuhkan agar kita bisa membangun "civil society" dengan ikatan yang mendalam, agar masyarakat terhindar dari gejala anomi dan alienasi sosial.
Sementara agama personal kita butuhkan agar kita memiliki komunikasi yang intim dengan Tuhan. Agama personal tak harus cocok dengan versi "resmi" yang dikawal oleh aparat agama sosial. Kerapkali agama personal mengembangkan corak relijiusitas sendiri yang berbeda.
Asal dia tak dideklarasikan ke tengah publik, dan sebatas bergerak di "forum internum", agama personal ini biasanya tak menimbulkan gangguan atas "ketertiban umum". (*)
KOMENTAR