Foto: Ilustrasi RamahNUsantara, Jogyakarta -- Akhir-akhir ini beberapa tokoh kita difitnah dengan berita-berita hoax di beberapa me...
Foto: Ilustrasi |
RamahNUsantara, Jogyakarta -- Akhir-akhir ini beberapa tokoh kita difitnah dengan berita-berita hoax di beberapa media termasuk media sosial. Salah satunya adalah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj yang difitnah dengan beberapa persoalan. Misalnya sebagaimana dimuat di Harian Bangsa (26/12) soal penjualan tanah di Malang dan mengaitkan Kiai Said Aqil Siroj sebagai perantara untuk kepentingan pembangunan sebuah seminari.
Para penyebar fitnah itu sebenarnya sedang menerapkan sebuah teori yang ditulis Adolf Hitler dalam otobiografinya bahwa jika sebuah kebohongan diulang-ulang, maka pikiran manusia akan mempercayainya. Kebohongan akan diterimanya sebagai kebenaran. Dengan kata lain berita hoax yang terus-menerus di-share, apalagi tanpa ada bantahan sama sekali, akan berpotensi diterima masyarakat sebagai kebenaran.
Sehubungan dengan berita-berita hoax yang menimpa Kang Said itu beberapa klarifikasi telah dilakukan oleh dutaislam.com beberapa waktu lalu meskipun pada saat ini laman yang memuat klarifikasi tersebut sudah tak dapat ditemukan lagi karena mungkin sudah dianggap cukup.
Dalam menyikapi hoax, masyarakat bisa dibagi setidaknya menjadi tiga kelompok.
- Kelompok orang yang mempercayai.
- Kelompok orang yang meragukan atau bersikap ragu-ragu antara percaya dan tidak percaya.
- Kelompok orang yang tidak mempercayai.
Pertanyaannya adalah apakah klarifikasi atas berita-berita hoax perlu di-share terkait dengan keberadaan ketiga kelompok di atas?
Dalam sebuah grup WA yang berbasis di Solo–“Saya NU”–jawaban atas pertanyaan di atas dari para anggota grup tidak bulat karena beberapa anggota menjawab “tidak perlu”. Mereka khawatir men-share link atau tautan klarifikasi hanya akan menimbulkan polemik baru; dan mereka yang telah mempercayai fitnah itu tidak akan berubah sikapnya. Di samping itu, menurut mereka, warga nahliyin yang telah terlanjur terprovokasi akan menerima komentar-komentar miring atas klarifikasi itu daripada menerima kebenarannya.
Tetapi jawaban “perlu” dari para anggota lainnya lebih dominan. Mereka meyakini bahwa klarifikasi atas fitnah sangat diperlukan bahkan ditunggu-tunggu oleh kelompok orang yang meragukan kebenaran suatu fitnah. Kelompok kedua sebagaimana tersebut di atas berada di posisi tengah (moderat) sehingga cenderung lebih mudah mempercayai kebenaran atas klarifikasi karena mereka memang membutuhkan informasi baru atau pengetahuan tambahan untuk sampai pada sikap meyakini bahwa berita yang diterimanya tidak benar.
Tetapi apabila tidak ada klarifikasi yang jelas dan bahkan berita fitnah itu diterimanya lagi secara berulang-ulang hal ini bisa mempengaruhi kelompok kedua tersebut dan akhirnya bisa bergabung dengan kelompok pertama, yakni mempercayai fitnah.
Dalam kaitan dengan fitnah yang menimpa Kang Said, saya meyakini men-share klarifikasi atas fitnah atau berita hoax itu perlu dilakukan karena inilah yang ditunggu-tunggu kelompok kedua. Kelompok pertama sudah pasti susah diharapkan bahwa mereka akan berubah sikap. Maka biarlah mereka seperti itu meski kita tetap berharap suatu ketika mereka akan berubah sikap. Kita sesungguhnya tidak boleh berputus asa karena hal itu tidak baik. Sedangkan kelompok ketiga tidak ada masalah.
Para ulama mengatakan sebuah kaidah:
Ù…َا لاَ ÙŠُدْرَÙƒُ ÙƒُÙ„ُّÙ‡ُ لاَ ÙŠُتْرَÙƒُ جُÙ„ُّÙ‡ُ
Artinya, “Apa-apa yang tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.”
Maksud saya adalah kalau kita tidak bisa mempengaruhi seluruh kelompok di atas, maka kita tidak boleh meninggalkan yang sebagian yakni kelompok kedua yang sangat mungkin bisa menerima klarifikasi atas fitnah atau berita hoax yang menimpa Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj tersebut. Jadi menurut saya, men-share klarifikasi tersebut perlu dilakukan. Jangan takut akan terjadi polemik baru karena sekali lagi fitnah yang tidak dibantah akan berpotensi diterima sebagai kebenaran. Di samping itu, apakah dengan kita bersikap diam, mereka akan berhenti memfitnah?
Penulis Muhammad Ishom
Penulis
adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
(NU-Online)
KOMENTAR