RamahNUsantara, Jakarta -- Ketua Umum Pagar Nusa Nahdlatul Ulama, M. Nabil Haroen, menyerukan agar komunitas santri dan warga Nahdliyy...
RamahNUsantara, Jakarta -- Ketua Umum Pagar Nusa Nahdlatul Ulama, M. Nabil Haroen, menyerukan agar komunitas santri dan warga Nahdliyyin merapatkan barisan memasuki tahun politik. Pada tahun 2018 dan 2019, dianggap sebagai tahun politik, karena momentum kontestasi politik Pilkada serentak dan Pemilu Presiden.
"Warga Nahdliyyin jangan sampai tercerai berai, kita harus bersatu, solid, dan saling menguatkan. Saat ini, banyak teror terhadap kiai-kiai pesantren dan pemuka agama. Sasarannya apa? Ingin mencipta kecemasan di ruang publik kita," ungkap Nabil Haroen, di Jakarta, Sabtu (24/02/2018).
Nabil menambahkan, betapa warga nahdliyyin harusnya belajar dari sejarah, bagaimana proses politik dan pergantian pemimpin, sering menggunakan NU sebagai modal kekuatan. "Warga NU sering diperlakukan sebagai pendukung saja, atau yang lebih tragis, dibelah akan kekuatannya menurun," ungkap Nabil.
"Secara kuantitas, warga Nahdliyyin sebagai mayoritas. Dari sejumlah survey nasional, warga NU paling besar. Inilah yang menjadi sasaran tembak, dari teror orang gila, naga hijau, dan sejenisnya," jelas Nabil.
Teror terhadap kiai-kiai pesantren, saat ini merebak, menjadi rangkaian. Kiai Umar di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, diserang pada akhir Januari 2018 lalu. Kemudian, teror juga terjadi di pesantren al-Falah, Ploso, Kediri, Jawa Timur. Rangkaian teror, terjadi di beberapa pesantren dan rumah ibadah, yang sering disebut dilakukan oleh orang gila.
Sekretaris Umum Pagar Nusa, M. Hasanuddin Wahid, mengungkap bahwa teror orang gila tidak berdasar. "Mana mungkin orang gila punya pola dan rangkaian kekerasan. Itu tidak masuk akal. Kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas," ungkap Hasan.
Lebih lanjut, Hasanuddin Wahid mengajak warga nahdliyyin, santri dan pendekar Pagar Nusa untuk selalu mendekat kepada kiai. "Kita harus sering silaturahmi dan tabayyun. Ini penting agar NU tidak mudah dipecah belah. NU jangan jadi korban politik. Kita harus belajar dari tragedi 1965 dan 1998," terang Hasan.
Menghadapi teror dan serangan kiai, Pagar Nusa berkoordinasi dengan aparat keamanan, sekaligus merapikan barisan untuk siap siaga. Kesiapan ini untuk mengantisipasi teror agar tidak menjadi kerusuhan yang lebih luas. (*)
KOMENTAR