FOTO: Johanes Adekalla SUMBER: Poskupang/Yansen Bau via tribunnews.com RamahNUsantara, Jakarta - "Kalau ada yang bertanya siap...
FOTO: Johanes Adekalla SUMBER: Poskupang/Yansen Bau via tribunnews.com |
RamahNUsantara, Jakarta -
"Kalau ada yang bertanya siapa pahlawan hari ini, saya katakan adalah Joni Belu,” kata Menpora Imam Nahrawi, seperti dikutip Antara hari ini, 17 Agustus 2018. Joni yang dimaksud adalah Johanes Adekalla, yang menurut detik.com Yohanis Gama Marschal Lau, 13 tahun, siswa kelas VII SMPN 1 Silawan, Tasifeto Timur, 14 kilometer timur Atambua, Kabupaten Belu, NTT.
Hari ini, Joni bak selebritis. Foto dan videonya viral di medsos, dan menjadi berita di sejumlah situs. Itu tak lain karena aksi heroik yang dilakukannya: Memanjat tiang bendera demi menarik tali bendera yang putus sehingga upacara peringatan Hari Proklamasi ke 73 Republik Indonesia di kecamatan yang berbatasan dengan Timor Leste itu pun bisa berlanjut.
Heroik-kah aksi Joni tersebut? Tentu saja. Terutama, seperti disebutkan tribunnews.com, karena tindakannya itu tanpa perintah siapapun. Ia melakukannya secara spontan. Adakah ia mafhum, bahwa sudah menjadi ketentuan, setiap upacara penaikkan bendera seperti yang terjadi saat itu tak boleh batal atau diulang? Para petugas pengerek bendera harus diam mematung manakala terjadi sesuatu, dan melanjutkan tugasnya sampai bendera berkibar? Wallohualam. Yang pasti, Joni telah melakukan keharusan itu. Heroisme dia adalah melaksanakan sebuah keharusan, kewajaran, manakala tak seorangpun melakukannya.
Aksinya lebih terasa heroik karena situasi dan kondisi kita kala ini. Tak semata karena kita seperti terbelah dua menjadi cebong dan kampret. Tapi, juga karena Sang Saka Merah Putih kerap dianggap semata selembar kain. Para pendukung klub sepakbola, tanpa sadar, kerap menjadikannya alas duduk di atap metromini yang mengangkutnya dari atau ke stadion. Kelompok lain pernah menambahinya dengan simbol agama yang diyakininya, dan mengibarkannya dalam sebuah aksi demo. Bahkan, tak sedikit anak sekolah yang cekikikan dan tak peduli ketika Sang Saka dikerek dalam upacara yang mereka ikuti. Sama tidak perdulinya, dan tanpa hormatnya, terhadap kehidupan sehari-hari.
Dan Joni mencoba mengembalikan kesucian simbol sarat makna itu. Dengan cara yang sangat mungkin biasa saja bagi dirinya. Sama biasanya dengan wajahnya yang selalu tersenyum, dan kerap memperlihatkan deretan gigi yang rapi dan putih, agak kontras dengan kemejanya yang lusuh dan tak rapi masuk ke balik celana, tubuhnya yang langsing dengan rambutnya yang keriting. Kesederhanaan dan ketulusan khas orang Indonesia Timur.
Kesederhanaan yang akhir-akhir ini menjadi luar biasa, menjadi istimewa.
Dan kini, setelah simpati dan penghargaan pemda setempat, juga Dandim dan Kapolresnya, Menpora akan memboyong Joni ke Jakarta. Ikut menyaksikan Asian Games – sebagai bagian dari penghargaan.
Boleh-boleh saja. Tapi, bagaimana kita melahirkan lebih banyak lagi anak-anak yang berjiwa seperti Joni menjadi pekerjaan rumah yang tak kalah pentingnya. Bahkan, jauh lebih penting.
Merdeka!
("Ode" ini juga saya sampaikan sebagai rasa kangen kepada Bang Peter Apollonius Rohi, seorang bestari asal NTT, yang sudah lama tak memposting tulisan-tulisan kesejarahannya).
(Maman Gantra)
KOMENTAR