Foto: dreamstime RamahNUsantara, Jakarta - Sebagaimana kita ketahui, Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW se...
Foto: dreamstime |
RamahNUsantara, Jakarta - Sebagaimana kita ketahui, Allah telah menurunkan
Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk untuk manusia. Secara
pengertian, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
yang menjadi mukjizat bagi beliau, serta membacanya adalah suatu ibadah.
Nabi menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang
harus disampaikan, sebagai tugas kerasulan beliau. Selanjutnya, para sahabat
berbondong-bondong mulai menghafal Al-Qur’an, serta sebagian menulisnya di
berbagai medium sesuai dengan teknologi yang ada di masyarakat Arab waktu itu.
Selanjutnya, Al-Qur’an ini juga mulai disusun pada masa-masa Khulafaur Rasyidin
pascawafatnya beliau, dan usai pada masa Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu
‘anhu.
Karena sebab inilah, Al-Qur’an menjadi terjaga, baik
karena adanya hafalan para sahabat maupun tulisan-tulisan mushaf yang berhasil
disusun. Dan Tuhan pun telah menjamin keterjagaan Al-Qur’an inidalam Surat Al
Hijr ayat 9:
إِنَّانَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan adz Dzikr, dan
Kami-lah yang menjaganya.”
Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari
menyebutkan bahwa yang dimaksud adz-dzikr dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an,
dan Allah menjaganya dari penambahan, pengurangan, baik dari isinya maupun dari
segi batasan hukum serta kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya.
Di sisi lain, selain mengucapkan Al-Qur’an, laku dan ucap
Nabi juga ditulis oleh para sahabat. Karena kemuliaan dan keutamaan beliau,
tentu mencatat teladan dari beliau juga mulia. Namun Nabi melarang untuk
menulis apa pun dari beliau, kecuali Al-Qur’an. Ternyata, berlalu zaman, muncul
urgensi untuk mengumpulkan perkataan, tindakan, maupun persetujuan (taqrîr)
Nabi ini yang saat ini kita kenal sebagai hadits.
Seiring masa kodifikasi, pengumpulan hadits pada sekitar
abad kedua Hijriah, diketahui bahwa Nabi pun selain menyebutkan ayat Al-Qur’an,
juga menyatakan beberapa hal yang disandarkan pada Allah. Dalam ilmu hadits,
hadits-hadits yang dituturkan Nabi dan disandarkan pada Allah ini disebut
hadits Qudsi.
Kerap muncul pertanyaan: jika Al-Qur’an adalah wahyu
Allah, mengapa masih ada hadits Qudsi? Bukankah Nabi adalah penutur wahyu
Allah, dan setiap yang dikatakan beliau adalah wahyu? Bagaimana membedakan Al-Qur’an
dan Hadits Qudsi?
Secara sekilas, tentu saja hadits Qudsi akan kita temukan
dalam kitab-kitab hadits beserta periwayatnya, sedangkan Al-Qur’an sudah
terpaten dalam mushaf, serta secara mutawatir, telah dihafalkan turun temurun.
Namun jika muncul pertanyaan kritis seperti di atas, mengenai hal ini, Syekh
Muhammad bin Alawi Al Maliki, salah satu ulama kenamaan Mekkah, menjelaskan
dalam kitabnya al-Qawaidul Asasiyyah fi ‘Ilmi Musthalahil Hadits.
Setidak-tidaknya, mengutip penjelasan Syekh Muhammad Al
Maliki, ada beberapa hal yang patut kita cermati tentang perbedaan Al-Qur’an
dan Hadits Qudsi:
1. Al-Qur’an adalah mukjizat yang terjaga sepanjang masa
dari segala pengubahan, serta lafal dan seluruh isinya sampai taraf hurufnya,
tersampaikan secara mutawatir.
2. Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan maknanya saja. Ia
harus dihafalkan sebagaimana adanya. Berbeda dengan hadits Qudsi, yang bisa
sampai kepada kita dalam hadits yang diriwayatkan secara makna saja. Pun ia
masih bisa dikritik secara sanad dan matan sebagaimana hadits-hadits lainnya.
3. Dalam mazhab Syafi’i, Mushaf Al-Qur’an tidak boleh
dipegang dalam keadaan berhadats kecil, serta tidak boleh dibaca saat berhadats
besar. Sedangkan pada hadits Qudsi, secara hukum, ia boleh dibaca dalam kondisi
berhadats.
4. Hadits Qudsi tentu tidak dibaca saat shalat, berbeda
dengan ayat Al-Qur’an.
5. Membaca Al-Qur’an, membacanya adalah ibadah, dan
setiap huruf diganjar sepuluh kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam banyak
hadits.
6. Al-Qur’an adalah sebutan yang memang berasal dari
Allah, beserta nama-nama Al-Qur’an yang lainnya.
7. Al-Qur’an tersusun dalam susunan ayat dan surat yang
telah ditentukan.
8. Lafal dan makna Al-Qur’an sudah diwahyukan secara utuh
kepada Nabi Muhammad, sedangkan lafal hadits Qudsi bisa hanya diriwayatkan oleh
para periwayat secara makna.
Sekurang-kurangnya, itulah perbedaan mendasar antara
Al-Qur’an dan Hadits Qudsi. Jika ditelaah lebih lanjut, tentu masih banyak
perbedaan yang bisa didapat. Tujuan mengenal perbedaan ini, supaya kita tidak
dibingungkan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang Al-Qur’an. Selain itu,
untuk menempatkan sumber-sumber hukum agama Islam dan pedoman iman kita secara
benar dan proporsional. Wallahu a’lam.
(NU Online/Muhammad Iqbal Syauqi)
KOMENTAR