Foto: Ilustrasi RamahNUsantara, Yogyakarta - Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya or...
RamahNUsantara, Yogyakarta - Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh
para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran:
menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan
urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama,
mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang
tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga
memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu
pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga.
Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung
lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar
rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah
tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus
gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun
jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja
Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa
dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan
Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah
cikal bakal Islam di Sulawesi.
Baca Sebelumnya >> Tombo Ati, Iku Ono Limang Perkoro
Baca Selanjutnya >> Berdirilah Kerajaan-kerajaan Islam di Penjuru Sulawesi
KOMENTAR