Foto: Jurnalpos RamahNUsantara, Jakarta - Pada Kamis 19 Oktober yang akan datang, Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU akan menyelenggarakan ...
Foto: Jurnalpos |
RamahNUsantara, Jakarta - Pada Kamis 19 Oktober yang akan datang, Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU akan menyelenggarakan Halaqah dengan tema: Fiqh Ramah Penyandang Disabilitas. Indonesia sudah memiliki undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini merupakan pengganti UU Nomor 4 tahun 1997.
Sebagai pengganti, semangat UU Nomor 8 tahun 2016 lebih menegaskan status penyandang disabilitas sebagai subyek, bukan obyek. Berbeda dengan UU sebelumnya yang masih memberikan kesan penyandang disabilitas sebagai obyek belas kasihan.
Penyandang disabilitas adalah manusia yang sama dengan manusia yang lain. Mereka tidak membutuhkan belas kasihan, tapi perlu ada keberpihakan secara sosial-politik bagi mereka. Dalam hal ini, Negara harus mampu menyediakan berbagai fasilitas umum yang disesuaikan dengan kondisi mereka. Bukan dalam konteks belas kasihan, tapi lebih sebagai pemenuhan hak-hak dasar mereka sebagai manusia (HAM). Selain fasilitas, Negara pun harus memberikan kesempatan kepada mereka dalam panggung politik.
Amnesti International sudah menetapkan dasar hukum agar mereka mendapatkan tempat yang setara dalam pemenuham hak asasi manusia (HAM). Tanggal 3 Desember pun selalu diperingati sebagai Hari Penyandang Disabilitas International yang dirintis oleh PBB sejak tahun 1992.
Pertanyaan: apakah hukum Islam (fiqh) memberikan peluang rumusan hukum bagi kaum disabilitas yang sejalan dengan prinsip HAM?
Jawabannya jelas positif. Soal HAM, hukum Islam menegaskan kewajiban memelihara lima hak dasar bagi manusia. Lima hak dasar ini kemudian disebut sebagai Maqoshid sy-Syariah (Tujuan-tujuan dibentuknya hukum). Lima hak dasar tersebur adalah hak hidup (nyawa), hak atas harta, hak beragama (berkeyakinan), hak mempertahankan nama baik dan hak dalam kebebasan berpikir.
Lebih khusus lagi, dalam Ushul Fiqh ada kaidah yang sangat penting dalam merespon kehidupan manusia berkaitan dengan disabilitas, yaitu kaidah
المشقة تجلب التيسير
"Kesulitan mengharuskan adanya kemudahan atau keringanan."Kaidah ini merupakan perasan dari ayat-ayat Al-Quran dan Hadits yang semangatnya adalah mempermudah dalam menjalankan ajaran agama.
Allah berfirman,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan untuk kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Dan Dia tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama." (QS. Al-Hajj: 78)
Rasulullah Saw. bersabda,
"يسروا ولا تعسروا، وبشروا ولا تنفروا". متفق عليه
”Permudahlah, dan jangan mempersulit. Senangkanlah, dan jangan membuat orang tidak suka!” (Muttafaq alaihi)
Dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, kaidah di atas memiliki kaidah-kaidah turunan yang lebih khusus dan selalu mengambil contoh soal pelaksanaan ibadah. Misalnya boleh tayamum (sebagai pengganti wudhu) bagi orang sakit yang jika menggunakan air sakitnya akan lebih parah. Contoh lainnya adalah boleh makan bangkai ketika kelaparan jika tidak ada makanan lain.
Semua contoh yang dikemukakan masih berkutat pada pelaksanaan ajaran agama secara normatif.
Meski demikian, semangat kaidah tersebut dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan sistem hukum yang ramah terhadap para penyandang disabilitas. Dari rumusan tersebut pun dapat dijadikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait bahwa Islam sangat mendukung terciptanya ruang publik dan pengadaan fasilitas umum yang disesuaikan dengan para penyandang disabilitas.
Dalam hal ini, hukum Fiqh mengharuskan keberpihakan pemerintah pada para penyandang disabilitas. Pemerintah wajib menyediakan berbagai fasilitas yang mempermudah mereka dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka. Di setiap fasilitas umum harus ada fasilitas khusus bagi para penyandang disabilitas, termasuk di tempat-tempat ibadah.
Kewajiban tersebut pun bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, tapi tanggungjawab semua pihak yang terlibat dalam kebijakan membangun fasilitas umum. Masjid atau tempat ibadah lainnya, misalnya, harus dibangun dengan memperhatikan kemudahan akses bagi para penyandang disabilitas. Begitu pula halnya dengan fasilitas umum yang lain.
Inilah sekelumit bahan diskusi yang akan meramaikan halaqah yang akan digelar oleh LBM-PBNU pada Kamis, 19 Oktober mendatang. Tentu dalatm halaqah nanti akan lebih banyak lagi argumentasi dan perspektif yang akan dikemukakan oleh para nara sumber yang hadir.
Selamat ber-halaqah.
Penulis:
Taufik Damas
Wakil Katib PWNU DKI Jakarta
KOMENTAR